- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Hujan turun membasahi bumi. Memberikan kesempatan hidup pada tumbuhan-tumbuhan yang sekarat selama musim kemarau.
Tanah basah memberikan aroma yang begitu menenangkan. Gadis bergaun merah padam itu tahu aroma tersebut sering disebut orang-orang sebagai petrichor. Dan Eren tahu betul, sekuat apa keinginannya menengadahkan telapak tangan untuk disentuh air yang berjatuhan di luar, ia tak akan bisa melakukannya.
"Mau sampai kapan berdiri di situ? Sampai masuk angin?" Suara halus dalam milik sosok yang kini berbaring telentang di kasur membuatnya mengerjap sadar.
Alih-alih menjauhi jendela, Eren justru melempar pertanyaan yang telah bersarang lama di kepalanya. "Seperti apa rasanya kehujanan?"
"Seperti mandi di bawah shower."
Kepala Eren bergerak miring. Mata beningnya berbinar. "Benarkah?"
"Kurang lebih."
Salah satu sudut bibir Eren tertarik. "Aku yakin lebih menyenangkan dari itu." Jari lentiknya menyentuh kaca sedingin es. "Kapan, ya, aku bisa keluar?"
Sosok bernama Lionarde itu tidak menjawab. Ekspresi pemuda itu sama-sama datar seperti Eren. Bedanya, kali ini ada gurat kesedihan di mata bening Eren.
"Aku sangat ingin merasakan panas matahari, atau mensyukuri hujan pertama di penghujung musim kemarau, atau menjumpai banyak teman dengan berbagai karakter di sekolah yang mempunyai guru galak, seperti di novel-novel."
"Aku dan Lily tidak cukup menjadi temanmu?" tanya Lio sembari mengacak-acak rambutnya di depan cermin.
"Kalian tidak bisa diajak makan bersama, tidak bisa bermain piano, tidak bisa diajak melengkapi puzzle. Payah. Menyebalkan." Eren mendesis. Kemudian kembali ke kasur. Ia mulai menyusun puzzle-puzzle pada tempatnya. "Aku penasaran, seperti apa kau ketika masih hidup?"
Gerakan Lio terhenti. Pemuda berkemeja putih itu menatap Eren lewat cermin. "Tampan," jawabnya jujur.
"Jawaban basi."
Lio menarik sudut bibir. "Aku memang tampan, banyak gadis yang menyukaiku di sekolah."
"Kau membalas perasaan salah satunya?"
"Tidak." Lio mendekati Eren. Memerhatikan permainan puzzle gadis itu yang hampir selesai.
Eren mendongak. "Lalu? Apa yang kau suka?"
Lio termenung, lalu menoleh padanya. "Tidak ada," balasnya, "Ibu menyuruhku menguasai banyak hal. Bela diri, bermusik, melukis, memasak, olahraga, bahkan pelajaran akademik lainnya. Itu membuatku tidak bisa menentukan mana yang benar-benar kusuka."
Ekspresi wajah Eren tetap datar. Menatap lurus mata hitam pekat Lio. Ia tersenyum miring. "Ternyata hidupmu lebih tidak bebas dari aku," ujarnya, "seseorang akan merasa bebas dan nyaman saat melakukan apa yang dia suka."
"Termasuk laki-laki yang merasa nyaman ketika memandangi seorang perempuan bermain puzzle?"
Senyum Eren memudar. Ia mengedarkan pandangan pada seisi kamarnya yang luas ini. Sepi. Hanya terdengar suara hujan dari luar. "Terkadang, suasana tempat dia berada juga memengaruhi perasaannya. Tempat yang sepi cenderung membuat nyaman."
"Terlepas dari itu, apa kesimpulannya? Apa memandangi si perempuan termasuk hal yang dia suka?"
"Kau bukan anak kecil lagi. Tidak mungkin tidak mampu untuk menyimpulkannya sendiri."
"Aku bercanda."
Eren tak menghiraukan. Meski Lio menghilang menembus tembok pun. Ia lebih memilih membuka ponsel. Ada pesan baru. Dari Hugo. Laki-laki seumuran Eren yang ia kenal dari sosial media.
Hugo: Besok hari Minggu, kau ada acara tidak?
Eren: Hanya bermain piano di rumah.
Hugo: Kau masih suka piano?
Eren: Kapan aku akan tidak menyukainya?
Hugo: Ada pertunjukan piano besok, kau tidak berminat ikut?
Eren: Di mana?
Hugo: Di dekat tempat tinggalku.
Eren: Mama tidak akan mengizinkanku ikut.
Hugo: Bagaimana dengan menonton?
Eren: Sepertinya seru.
Hugo: Berminat menonton bersamaku?
Gadis itu terdiam. Ia menoleh pada pintu yang dikuak. Andra—seorang pelayan—membungkuk. Mengatakan makan malam sudah siap. Eren merenung. Ia pikir, ini waktu yang tepat untuk bisa terbebas dari penjara berbentuk rumah megah bergaya Eropa ini.
Maka, selepas menghabiskan hidangan di meja makan. Eren meminta izin pada Anjani—mamanya—yang sudah ia duga, mengucap penolakan.
Amarah dan hasrat ingin merasakan udara luar yang sudah mengendap lama dalam diri Eren membuncah keluar.
Adu mulut hebat terjadi antara ibu dan anak malam itu.
"Mama tidak pernah memikirkan perasaan Eren!"
"Justru karena aku sangat memikirkan perasaanmu, aku melakukan ini. Kau tidak tahu, seberapa banyak orang jahat di luar sana, Eren!" Anjani mengelus kasar rambut sang putri. "Kau gadis yang sangat cantik, akan ada banyak lelaki bejat yang tertarik padamu. Mereka akan memuja-muja dan merayumu. Membuatmu hampir gila karena cinta. Kemudian ... mereka melemparmu ke dalam jurang. Memaki dan meninggalkanmu." Sama sekali tidak ada kehangatan dalam senyum Anjani, justru kebengisan bersarang, makin kuat ketika ia melanjukan sambil terkikik, "Persis Papamu dulu."
Eren menepis tangan Anjani. Kemudian berlari ke kamarnya. Ia sampai tidak menyadari eksistensi Lily dan Lio yang tengah mengobrol di atas lemari. Nyaris saja ponselnya melayang menampar cermin. Beruntung Lily cepat-cepat mengadang.
"Ada apa?" Lio bertanya. Perasaan cemas melompat-lompat di dadanya.
Namun Eren tak menjawab. Gadis itu sibuk mengobrak-abrik lemari. Matanya melebar. Menemukan apa yang ia cari.
Setelah itu, barulah ia menjelaskan rencananya pada kedua makhluk halus yang sudah menjadi temannya dari lima tahun terakhir ini.
Sontak, Lily dan Lio memekik tak setuju. Bahkan hantu dari luar yang sedang mampir ikut memberi suara kontra.
"Menonton pertunjukan piano adalah hal yang aku damba-dambakan dari dulu."
"Kau bisa menontonnya lewat online," usul Lio.
"Kau tidak bisa menahanku." Eren menutup mata dengan posisi berbaring. Satu detik setelah itu, kedua matanya kembali terbuka. "Aku ingat belum mengabari Hugo," gumamnya, membuat Lio tersentak.
"H-Hugo?"
"Siapa Hugo?!" tanya Lily, cempreng.
"Teman online-ku."
Berikutnya tidak ada suara lagi di kamar bernuansa kelabu itu. Eren terlelap, Lily meninggalkan kamar, dan Lio terdiam.
Paginya, rencana Eren terlaksana. Tanpa ada yang menahan. Lily tidak hadir di kamarnya. Lio sendiri masih tidak banyak bertingkah dari semalam.
Eren memerhatikan wajah damai mamanya yang tertidur lelap sehabis sarapan. Yang tak lain tak bukan adalah ulahnya sendiri. Ia menuruni tangga. Melirik sekilas para pelayan—yang sengaja ia paksa makan bersama pagi ini—tergeletak di mana-mana. Eren tersenyum. Makin bersemangat.
Dengan jantung berdebar-debar, Eren membuka pintu kayu berukir relief kuno itu. Bak gerbang yang menghubungkan neraka dengan surganya. Langkah Eren begitu ringan. Menapaki ubin teras rumahnya yang bisa ia lihat kembali setelah sekian lama. Ia menghirup udara banyak-banyak. Wajahnya berseri melihat langit biru. Sensasi baru memenuhi rongga dadanya. Sensasi bahagia, takut, dan semangat menjadi satu. Begitu asing, tetapi menyenangkan. Mengambil alih tempat di mana amarah menumpuk. Rasanya ingin melompat-lompat dan menari sampai pusing.
Eren merasa angin mengusap wajahnya. Hangat matahari turut menyengat kulit. Suara burung menggelitik telinganya. Seakan menyambut seorang putri yang baru terlahir ke bumi. Ia melihat tumbuhan hijau mendominasi pekarangan. Eren berbalik, memandangi rumahnya dari depan. Amat megah dan anggun. Sudut bibirnya tertarik, membentuk senyum miring, sebelum mengucapkan sampai jumpa.
Kini, gadis bergaun putih setumit itu duduk dalam bus yang Lio tunjukkan. Berdesakkan dengan banyak jenis manusia. Eren memerhatikan mereka satu-persatu. Menghitung kendaraan yang lewat, membaca tulisan di papan iklan, dan membaca nama-nama toko di pinggir jalan. Eren sangat bersemangat.
Rasanya seperti benar-benar hidup.
"Kau ingin pergi ke mana?" tanya Lio, berdiri di dekatnya. Sementara kursi di sebelah Eren terisi wanita setengah baya yang tengah menonton sinetron melalui aplikasi Youtube.
"Hugo mengatakan akan menunggu di depan sekolahnya, karena itu tempat yang strategis."
"Apa nama sekolahnya?"
"Britania High School," jawab Eren, bersamaan dengan bus yang berhenti.
Lio tersentak. Matanya melebar sempurna. Ia belum sempat membalas perkataan Eren karena gadis itu lebih dulu beranjak keluar. Di halte tak jauh dari sebuah gadung sekolah mewah. Tempat familier baginya.
"Er!" panggil Lio.
Namun Eren tetap berjalan menuju gerbang. Di mana seorang pemuda jangkung bersandar.
Menggunakan seragam dengan lambang yang sama seperti kemeja Lio.
"Hugo?" Eren menyapa.
Pemuda itu mengangkat wajah. Tersenyum. "Eren?"
Bak ada benda berton-ton yang membentur kepala Lio. Memusingkan. Ingatan masa lalunya mencuat. Jasad ibunya; darah; tangisan; sirine polisi; perjuangan; harapan; tabrakan; kemudian penyesalan yang membuatnya terperangkap di sini. Lio mengepalkan tangan. Hatinya berdenyut sakit. Wajah pucatnya mengeras mendapati Eren mengobrol akrab bersama Hugo.
"Kenapa kau memakai seragam? Bukankah sekarang hari Minggu?"
"Aku baru saja selesai latihan basket," jawab Hugo sembari terus tersenyum.
Mereka kembali berbincang-bincang sementara Lio berusaha menenangkan dirinya sendiri. Ia tidak salah lagi. Di depannya memang benar Adrian Hugo Perana, seseorang yang telah membunuh ibunya.
Rasanya Lio ingin menonjok wajah tanpa rasa bersalah itu sampai tak berbentuk lagi. Amarahnya membara. Lio murka. Kenapa orang seperti Hugo bisa hidup dengan begitu tenang? Sedangkan ia amat tersiksa di sini.
Lio mulai merutuki kebodohannya sendiri pasca kecelakaan menuju kantor polisi bersama sebuah flashdisk—berisi bukti yang menunjukkan Hugo telah menusuk ibunya karena tak sengaja memergoki pemuda itu memutilasi gadis remaja—Kecelakaan yang menjadi pintu masuk Lio ke dunianya sekarang.
Mendengar psikopat itu mengajak Eren jalan. Lio kontan mendongak. "Jangan," tahannya melesat ke hadapan Eren.
Gadis berkulit putih itu mengernyit.
"Dia berbahaya, Er, lebih baik kita pulang."
Eren tidak memberikan reaksi apapun.
"Akan aku ceritakan nanti."
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya

Komentar
Posting Komentar