The Sunflower Can('t) Leave The Sun

 Bagian 5


Pelatih baseball dan cheerleaders sama-sama tidak masuk, jadi kami dilatih oleh guru olahraga kami yang multitalenta. Kami disatukan di lapangan depan. Alhasil aku melihatnya yang sedang berlari, memukul dan menangkap bola. Wajahnya yang penuh debu dan keringat. Ekspresinya yang serius. Manikku seolah tak bisa lepas dari sosoknya.


Setelah hari menjelang sore, kami selesai latihan. Semua pemain dikumpulkan untuk mendengar sepatah-duapatah kata dari guru. Sebelum bubar kami berbaris—anggota cheerleaders dan baseball—guna saling memberi apresiasi lewat tos. Aku berdiri paling belakang, dia paling ujung di barat. Aku sedang melakukan tos dengan anak baseball kelima ketika mataku memergokinya tengah berbicara dengan anggota cheerleaders berambut kuncir kuda. Aku bisa memperhatikannya karena pergerakan tos itu sempat terhenti. Gadis kuncir itu tersenyum dengan mata berbinar—penuh antusias dan malu-malu. 


Aku mengalihkan wajah tak hirau. Barisan kembali berjalan ketika gadis kuncir itu sudah melarikan diri ke tribune. Hingga aku tiba di hadapannya. Matanya menatapku lurus. Sudut bibirnya tertarik. Tanpa membalas senyumnya aku memukul kencang telapak tangan kanannya dengan telapakku. Dengan sigap dia menangkap pergelanganku, menelusupkan jari-jarinya di antara jari-jariku, dia mengajakku ke tempat ganti sambil mengeluhkan cuaca hari ini.


"Kenal?" Manikku melirik gadis kuncir kuda yang sedang memainkan ponsel di bangku tribune.


Dia melihat arah tunjukku. "Oh, teman sekamar," jawabnya, "Dia bilang titipanku sudah datang. Aku titip sabun cuci muka kemarin."


Aku manggut-manggut. "Interaksi kalian asik juga," sanjungku jujur, ketika kami memasuki tempat ganti. Kami berdiri bersisian di depan wastafel.


Alisnya terangkat. Dia menatapku lekat lewat pantulan kaca. "Serius? Kami nggak dekat."


Aku ikut mengangkat sebelah alis. "Serius? Bukannya dia menarik?"


Dia diam. "Kenapa? Kamu suka?" tanyanya tiba-tiba. Intonasinya biasa saja, tapi nyaris membuatku tersedak.


"Nggak."


"Oh."


"Kamu suka?"


"Nggak."


Aku menatapnya tak percaya.


Dia menoleh. "Apa? Serius," katanya. "Gerak-geriknya aneh setiap kami mengobrol."


"Mungkin dia menyukaimu."


"Memang."


Tanpa bisa dicegah, manikku melirik penasaran.


Dia tengah menatapku. "Dia pernah bilang waktu awal semester." Tangannya terulur, mengambil kaus kakiku tanpa rasa jijik, kemudian dengan iseng menaruhnya di atas kusen pintu salah satu bilik yang berada di dekatnya. Aku memandang malas perbuatannya.


"Terus? Kalian jadian?"


"Nggak."


"Gimana tanggapanmu?"


"Aku cuma jawab, 'oh?'" Dia memeragakan dengan membentuk mulutnya seperti huruf o, dengan wajah super datar.


Tawaku tersembur, tapi aku sadar aku sedang menertawakan masa lalu menyakitkan orang lain, jadi aku berusaha mengatupkan bibirku kembali.


Sementara dia menunduk membuka sarung tangannya, senyum samar membayang di wajahnya.


"Kami baru ketemu sekitar dua hari, dia sudah bilang begitu."


"Itu wajar," tanggapku, sambil mencuci tangan. "Mudah untuk jatuh menyukaimu."


"Kalimat itu lebih cocok buat dirimu sendiri."


Aku bergumam. "Aku cuma jujur."


Kulihat sudut bibirnya tertarik. Dia mengacak belakang rambutku.


Komentar