- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Zeana menoleh pada Risca yang sedang bersandar pada batang pohon rapuh tengah-tengah hutan tempat mereka berada. Kentara sekali tengah menahan tangis. Gadis itu memang lebih menyembunyikan kebingungannya ketimbang Sita yang sedari dulu menangis terus.
Zeana mendekatinya, menepuk-nepuk pundak gadis itu hingga mengalihkan atensinya. "Kita akan baik-baik saja."
"Bagaimana bisa?! Bagaimana bisa aku baik-baik saja tanpa ponsel?!"
"Wah .... Aku kira kau merindukan keluargamu." Dayana menyahut setelah berkeliling hutan, dengan Shera di belakangnya yang tampak santai memasukkan kedua tangan pada saku jaket. Ada dua ekor ayam hutan di tangan Dayana. Melihat itu, Alice langsung mendekat.
"Tidak ada yang perlu dirindukan dari mereka," timpal Shera mendudukkan dirinya di samping Ilya yang merenung.
"Kau anak durhaka," desis Sita sungguh-sungguh.
"Yaaa aku tidak peduli." Shera mengedikkan bahunya. "Kalau bisa, aku ingin tersesat di sini seumur hidup."
"Sudah jangan dilanjutkan, kita tidak pernah menang melawan orang gila," sela Dayana, matanya fokus memotong ayam untuk dibakar, menggunakan pisau yang Shera curi dari sebuah gubuk tua tidak berpenghuni di hutan ini.
Shera tidak menghiraukan. Ia beralih pada Ilya. Tatapan gadis itu terlihat kosong dan sendu. Dengan begitu saja Shera mengerti jika Ilya merindukan keluarganya.
Bukan hanya Ilya sebenarnya. Mereka semua yang ada di sini pasti rindu rumah—ralat, kecuali dirinya.
Mereka semua berada di sini karena tersesat. Anehnya, mereka sendiri tidak tahu kenapa mereka bisa tersesat di hutan sunyi ini. Karena pertama kali mereka membuka mata, mereka sudah berada di hutan yang bahkan tidak terdapat sinyal ponsel sama sekali.
Shera ingat pertama kali dia memejamkan mata saat ia mengurung diri di kamarnya, bersembunyi dari sang ibu. Namun ketika membuka mata, malah berakhir di sini. Terhitung sudah hampir dua bulan Shera terjebak bersama orang-orang yang bahkan ia sendiri tidak kenal sebelumnya.
Yang pasti, kini di kota sedang ribut oleh serangan makhluk mematikan. Makhluk itu berbentuk seperti virus nyata. Ia berwujud dan menyerang manusia terang-terangan. Bila terkena gigitannya, maka nyawa akan langsung melayang. Pemerintah menghimbau untuk tetap berada di rumah, tapi mereka malah tersesat di sini.
"Aku rasa ini janggal." Zeana memecah keheningan.
"Jelas, ini benar-benar janggal. Bagaimana bisa aku terbangun di atas tanah kotor hutan ini, lalu bertemu kalian semua yang mengalami hal sama?" Alice menyahut kesal. "Padahal seingatku, aku tidak menguasai cara teleportasi."
"Bodoh. Maksudku, untuk apa kita dikirim ke sini jika bukan untuk suatu hal?!" Zeana membalas dengan suara mulai tinggi.
Sita berdecak. "Aku sudah sangat takut dengan makhluk-makhluk menyebalkan yang tiba-tiba saja muncul di bumi. Tolong jangan membuatku semakin stress."
Tiba-tiba saja, suara derap lari seseorang terdengar. Niana muncul dari balik semak-semak. Napasnya terengah-engah. Peluh membanjiri dirinya—bahkan baju lengan panjangnya tampak basah.
"Ada apa?" tanya Zeana, menatap heran.
"Aku menemukan sebuah gedung tua di depan sana. Sangat dekat dengan keberadaan kita. Aku memberanikan diri untuk mendekat dan kalian tahu apa yang kulihat? Makhluk itu, makhluk mengerikan itu ternyata bersarang di sana. Mereka berjumlah banyak, sangat banyak."
Penjelasan Niana membuat napas mereka tercekat dengan jantung berpacu lebih cepat. Kemungkinan-kemungkinan buruk hinggap di kepala masing-masing.
Shera meneguk ludah kasar. Matanya melirik kertas usang di tangan gemetar Niana. Tanpa kata, gadis itu menyentaknya, masa bodoh pada kenyataan bahwa Niana lebih tua darinya, Shera membaca kalimat-kalimat di kertas itu. Perlahan genggaman tangannya pada kertas mulai mengerat ditambah suhu panas dingin.
"Apa yang kau baca?" sergah Dayana membuat mereka semua menatap Shera yang masih terpaku.
"Mereka datang ke sini semata-mata hanya untuk berburu darah. Mereka kehausan dan makhluk di gedung itu adalah sisa dari mereka yang berkeliaran ke kota. Jumlahnya tidak bisa dikatakan sedikit atau banyak."
Alice yang tadi sibuk pada ayam sontak terdiam. Jantungnya terasa mencelos sekarang, begitu pula yang lain.
Tunggu, apa mereka akan mati?
"Lalu bagaimana mengusirnya?" tanya Zeana berusaha tetap tenang.
Niana menghela napas berat. "Harus ada dua tumbal manusia."
"Shit!" Risca mengumpat.
Zeana mengerutkan keningnya. "Bukannya mereka sudah memakan banyak manusia di kota?"
"Itu yang berkeliaran, sementara di gedung itu masih ada. Kalau tidak segera ditangani mereka akan berkembang biak bahkan menyerang kota lagi."
Mereka yang belum terlalu banyak asupan itu kini tampak makin pucat.
"Apa itu satu-satunya cara?" tanya Ilya yang sedari tadi diam saja.
"Ada kotak darah di lantai tiga gedung tua itu." Shera menjawab dengan mata terpaku ke kertas. "Tapi kita harus mencampurnya dengan setidaknya sedikit darah kita untuk mereka."
"Kenapa mereka tidak mengambilnya sendiri? Mereka terlalu bodoh!"
"Tidak Ilya, kotak itu ada di sebuah ruangan berkunci di mana hanya manusia yang mengetahuinya."
"Maksud kau kita yang harus ...." Risca tidak melanjutkan ucapannya.
"Tunggu apa lagi." Zeana bergegas memasukkan barang-barang yang ia punya selama di hutan pada karung goni lusuh yang juga ia temukan di hutan ini.
Shera, Niana, dan Ilya ikut bergegas.
Risca mengikuti. Ia menoleh pada Alice dan Sita yang diam saja. "Kalian tidak ingin ikut?"
"Aku tidak ingin mati," jawab Sita tanpa menatap Risca di sampingnya.
"Tidak ada yang ingin mati." Shera menyahut begitu saja. Ia memang kurang ajar karena selalu bicara tidak sopan pada mereka semua yang lebih tua darinya.
"Aku lebih tidak ingin keluargaku mati di kota," ucap Ilya membuat semuanya tertegun.
Alice nampak berpikir, lalu ikut mengemasi barang-barangnya. Ia berdiri bersisian dengan yang lain. "Kau benar-benar ingin tinggal sendirian di sini, Sita?"
"Sudah tinggalkan saja orang egois itu," ujar Shera sembari melangkah menjauh.
Sita tersinggung. Emosi mendengar kata-kata Shera. Ia segera berkemas dan ikut menyusul.
**
Memakan waktu setengah jam untuk mereka tiba di depan gedung tua kumuh yang Niana maksud. Karena tadi harus mencari obat-obatan di hutan yang sekiranya dibutuhkan jika mereka terluka. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalam gedung, membuat mereka tak yakin dan memutuskan beristirahat dulu, sekalian menguatkan mental.
"Katanya makhluk itu gampang dibunuh, kita bisa membunuh mereka seperti membunuh seekor kelinci, kalian juga bisa melempar batu atau menginjaknya." Niana berbicara dengan membaca kertas tadi. "Untungnya aku menemukan beberapa ranting kayu runcing tadi, tapi tetap hati-hati karena mereka sering menyerang tiba-tiba—bahkan sangat lincah. Jangan biarkan mereka menggigit bagian leher dan jantung kalian. Gigitan di kaki mungkin hanya akan menyebabkan sulit berjalan serta pusing."
"Aku ... tidak terbiasa membunuh," cicit Sita di balik punggung Dayana.
Ilya terkekeh. "Kau pikir kami terbiasa?"
Shera yang sedang bercanda bersama Alice mengalihkan pandangannya. "Oh, kau ikut juga ternyata? Kenapa? Takut dimakan macan di tengah hutan?"
Alice menabok mulut Sindi. "Mulutmu, dia lebih tua darimu. Kau lupa?"
"Masa bodoh."
"Anak lucknut," gumam Risca di belakangnya.
"Aku akan berterimakasih seandainya nanti mati. Jika aku masih hidup pun, aku akan tetap tinggal di sini sampai ajal menjemput." Semua terdiam mendengar celotehan Shera yang tampak ringan dan santai. "Tapi jangan khawatir, aku akan terus memastikan bahwa kalian baik-baik saja."
Mereka semua tertegun. Diam lama hingga Zeana berangsur mendekat, menepuk punggung Shera. "Kita semua akan baik-baik saja. Kau tidak akan mati. Jika kau enggan untuk pulang, kau bisa ikut dengan kami."
Kali ini giliran Shera yang tertegun.
Niana berdiri. "Ayo mulai."
**
"Ini gila." Sita refleks bergumam saat mengintip dari jendela gedung tersebut. Ada banyak sekali makhluk di sana.
"Ini lebih mengerikan dari hantu," timpal Alice. Satu-satunya anak indigo.
"Kita kalah jumlah, bagaimana kita bisa sampai di lantai tiga?!" Ilya berbisik tertahan.
"Tidak ada yang tidak bisa." Mereka nyaris berteriak saat Shera melompat masuk lewat jendela.
"Dia benar-benar anak bodoh, tidak memikirkan hal apa yang akan terjadi atas tindakannya!" Niana marah-marah di belakang.
"Dia selalu bertindak sendirian," ucap Zeana sebelum menyusul dan tentu saja diikuti yang lainnya.
Mereka semua mengendap-endap menuju tangga. Untungnya, tidak terlalu dikerumuni banyak makhluk warna ungu itu. Sialnya, tangga itu jauh jaraknya.
Shera sudah membunuh beberapa ekor tadi dengan pisau lipat yang selalu disimpannya di saku jaket selama berada dalam hutan.
"Tolong aku!" Sita mencicit kecil saat merasakan ada yang menggigit kecil kakinya.
Niana menoleh, menancapkan batang runcing di tangannya pada makhluk itu yang sontak mati. "Bunuh langsung bodoh! Ini baru mulai."
Sita tidak menjawab. Beruntung gigitannya kecil, walaupun masih terasa sakit. Ia menerima uluran batang runcing dari Ilya.
"Suaramu Niana!" Alice sangat kesal karena setelah Niana bicara, beberapa makhluk itu berlarian ke arah mereka. Dengan sigap ia membunuhnya. "Ini cukup gampang."
Shera paling depan sekarang. "Hueeek darah mereka bahkan lebih bau dari tubuh Alice."
"Hei! Ini bukan saatnya baku hantam!"
"Alice awas!" Zeana melempar batu pada makhluk di punggung Alice. Kontan saja, gadis itu meraung kesakitan. "Maafkan aku."
"Alice memang paling bodoh." Shera berdecak melihat bagaimana makhluk itu berbondong-bondong menyerang mereka karena raungan Alice.
"Ini mengundang lebih banyak. Ayo lari, tangga sudah kosong!" Zeana menginterupsi yang lainnya untuk segera berlari menaiki tangga dengan banyak anak tangga itu.
"Sial." Shera tertinggal. "Argh, Niana!"
Niana menoleh pada Shera yang tersandung anak tangga. Dengan sigap ia menariknya untuk bangun.
"Ini melelahkan."
Mereka semua sampai di lantai dua. Berita buruknya, ternyata di sana lebih banyak terdapat makhluk. Sebagian dari mereka bahkan memiliki tubuh lebih besar, sementara tangga menuju lantai tiga ada di pojok.
Mereka benar-benar di ambang kematian.
Satu makhluk mendatangi Zeana, tentu dengan senang hati Zeana menancapkan batang runcingnya. Tapi itu malah mengundang makhluk yang lain.
"Lari! Berpencar sekarang juga!" seru Risca, dituruti semuanya.
Shera, Sita dan Ilya memilih bersembunyi di balik meja besar di gedung itu. Alice dan Zeana masih terus membunuh di area kiri. Niana, Dayana, serta Risca menguasai area kanan.
"Aku tidak ingin menjadi pengecut," celetuk Sita nyaring, menyinggung ucapan Shera beberapa hari lalu, saat Sita bersembunyi sedangkan yang lain sama-sama mengusir ular besar di tempat istirahat mereka.
"Tolong jangan bod---" Ucapan Ilya tidak berlanjut saat dilihatnya Sita keluar dari persembunyian. Ikut menancapkan batang runcingnya pada makhluk-makhluk yang entah kenapa makin terasa bertambah banyak itu.
Shera memandangi Sita. Ia jadi merasa sedikit bersalah. Matanya tertoleh saat Niana tumbang dan segera ditangani oleh Risca dengan cara mengikat kaki Niana memakai kain yang sudah terdapat obat-obatan hutan tadi. Niana terlihat seperti ingin muntah karena bau darah di mana-mana.
"Sita di belakangmu!" Shera berteriak waktu dua makhluk ungu bersiap nemplok ke punggung Sita. Ia berlari segera. Menebas mereka dengan pisaunya, tapi salah satunya ternyata masih hidup, tanpa dicegah menancapkan gigi tajamnya di pundak Sita.
Mata Shera melebar sempurna karena Sita hampir limbung. Kepalanya pusing berat dan darah mulai mengucur dari punggungnya.
"Sialan." Dengan marah, Shera menepis, menginjak-injak makhluk tadi dengan kakinya hingga darah bercipratan. Segera ia memanggil Ilya untuk membantunya membawa Sita menuju meja besar tadi, lalu mengobatinya di sana.
"Jangan memaksakan dirimu," tahan Shera kala melihat Sita ingin bangun dan melanjutkan. "Kau bukan pengecut, Sita. Kau sudah hebat karena berani melakukannya."
Sita melebarkan mata, tak menyangka kalimat itu keluar dari seseorang seperti Shera. Gadis yang lebih muda darinya itu menggaruk leher, nampak malu-malu mengatakan, "Aku juga pengecut tadi tidak membantu kalian. Jadi ... kita impas, anggap saja Double S pengecut."
Sita ternganga. Dia tersentuh. "Kau ini ... bodoh sekali," cercanya.
"Zea, bertahanlah!" Seruan Dayana mengalihkan perhatian mereka berdua.
Zeana terlihat berbaring dengan kaki penuh darah dan napas tersengal-sengal. Obat hutan mereka sudah sedikit dan sepertinya tidak cukup untuk Zeana.
Mereka semua mendekat. Ilya memberikan air mineral setidaknya untuk memberi Zeana tenaga. Risca mengikat kaki Zeana menggunakan kain baju. Masa bodoh pakaiannya jadi compang-camping. Nyawa temannya lebih penting.
"Aku tidak apa-apa."
Shera memandangi itu. "Aku bisa melihat mereka berbeda bentuk, tetapi berkelompok." Shera berbisik pelan. Namun suaranya terdengar jelas oleh mereka semua, "jika salah satunya mati, terlihat yang lainnya ikut mati terbunuh. Aku berpikir itu seperti aku dan kalian, jika salah satu dari kalian tidak tertolong ... maka aku akan ikut mati." Semuanya terdiam.
"Shera." Rintan menegur.
"Ayo naik ke lantai tiga! Di sana tidak terdapat terlalu banyak makhluk itu," ajak Niana tiba-tiba, seraya mengalungkan tangan Zeana ke pundaknya, begitu pula dengan Dayana.
Bersama-sama mereka menaiki tangga, walaupun masih saja sambil membunuh yang mendekat. Benar ternyata di sana makhluk itu tidak terlalu banyak.
Namun di tangga terakhir menginjak lantai tiga. Seseorang paling belakang menjerit, berikutnya terdengar suara jatuh. Itu Shera, ia terjatuh di belokan tangga. Dan ada makhluk ungu berukuran cukup besar di punggung serta kakinya.
"Berengsek." Alice turun pertama kali disusul Niana dan Sita. Mereka semua menarik paksa Shera agar terlepas dari makhluk itu. Shera meringis kesakitan walaupun berhasil tertarik ketiganya.
Seolah belum puas, satu makhluk tiba-tiba datang pada punggung Shera. "PERGI KAU SIALAN!" Sita berteriak nyaring saat melihat makhluk itu menggigit Shera.
Di bagian lehernya.
"Sial, obatnya habis." Niana berdecak frustrasi seraya mengacak-acak karung goni Zeana. "KENAPA KALIAN MENYIAPKANNYA SEDIKIT BODOH?!" Niana berteriak nyaring.
Yang lainnya cengo karena tak tahu harus apa.
Shera sendiri sudah mati-matian mempertahankan kesadarannya. Ia menekan lehernya yang mengeluarkan banyak darah. Sensasi pusing sekaligus mual menyerangnya.
"Kau tidak boleh menyerah," bisik Sita, membuka ikatan di kakinya, memindahkan obat dari lukanya pada leher Shera.
Alice berjongkok di sebelah Shera yang berbaring, benar-benar tak tahu harus apa. "Tolong jangan pergi .... Tidak ada yang mau menemaniku bercanda selain kau, Shera."
"Aku akan menemani kalian." Shera memaksa untuk bangkit dan menaiki tangga.
Tujuan mereka adalah ruangan berpintu besi di tengah-tengah gedung.
Ruangan itu digembok.
"Itu kuncinya!" Dayana berlari ke arah kotak kecil berkaca di mana kunci ruangan itu berada.
Masalahnya di sini kaca itu sangat keras dan tebal. Batu Zeana habis di lantai dua, tidak ada benda keras untuk memecahkan kaca itu.
Bruk!
Shera ambruk. Napasnya makin tersengal-sengal. Matanya berkunang-kunang. Nyeri di lehernya terasa mencekik sekarang.
Sedangkan kini terdengar para makhluk itu mulai menaiki tangga menyusul mereka.
Dayana segera memukul-mukul kaca dengan batang runcingnya, diikuti Ilya, Risca, serta Alice.
Sebagian dari makhluk itu sudah sampai di lantai tiga.
"Aku tidak kuat." Suara Shera membuat semuanya memelotot. "Jadikan aku tumbal."
"JANGAN! KUMOHON JANGAN!" Alice berteriak menahan.
"Alice, keluargamu menunggu. Mereka yang di kota bergantung pada kalian, makhluk sialan itu harus pergi." Napas Shera tersendat. "Lempar aku pada mereka, dengan itu tidak perlu keluar banyak darah dari kalian. Salam untuk keluargaku, kalian sangat baik, sungguh."
Mereka semua nyaris menangis.
Makhluk-makhluk itu kini makin banyak terlihat di lantai tiga.
"Cepat!"
Ilya dan Zeana segara bergerak, mengangkat tubuh Shera untuk mengalihkan para makhluk kecil di sana, diiringi teriakan kencang Alice yang menahannya.
"Lempar aku ke bawah. Terima kasih karena ini aku merasa hidupku berguna, meski hanya sekali sebelum aku mati." Shera terkekeh hambar.
"Maaf, aku tidak menepati ucapanku," gumam Zeana. Dengan berat hati ia dan Ilya mendorong tubuh Shera. Mereka memejamkan mata hingga suara tubuh Shera yang menghantam lantai dua terdengar, keras sekali.
Zeana menunduk, melihat tubuh itu digerogoti makhluk-makhluk keji di sana.
Gadis itu mendesah lirih. Zeana dan Ilya berbalik, menghampiri teman-temannya kembali yang berhasil membuka ruangan kotak darah.
Kemudian bersama tenggelam dalam air mata.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya

Komentar
Posting Komentar