- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Bagian dari cerita Hesa; surat yang ditinggalkan Hesa buat Fasya, di meja belajar kamarnya, dekat jasad dirinya sendiri.
Fasya, ini saya.
Ah dari dulu kamu pasti tahu kalau saya enggak pernah pandai dalam permulaan. Seperti waktu kita pertama kali mengorbol. Ingat?
Yah tapi enggak semua yang buruk menghasilkan yang buruk juga 'kan Sya? Buktinya permulaan buruk yang saya buat, berbuah indah karena saya jadi kenal kamu.
Banyak teori dan persoalan dalam hidup saya, tapi kamu adalah teori paling rumit untuk saya selesaikan, Fasya. Zat dalam diri saya selalu tertuju ke kamu tanpa kendali, walaupun berulang kali saya rasa sudah waktunya untuk berhenti membuat kamu menoleh dan bilang 'iya' pada ajakan saya.
Omong-omong, saya pernah bilang 'kan dari awal kalau tempat yang ingin saya ajak pergi itu pemakaman? Tapi yang terakhir bukan, Sya. Tadinya saya mau ngajak kamu makan ramen di tempat favorit saya. Biar seenggaknya kita bisa ngobrol lama dan saya lupa pulang, lupa juga pada niat dari semalam saya untuk mengisi pistol peninggalan ayah dengan peluru.
Saya pikir mesti mengajari kamu bilang 'iya', tadinya saya pikir mesti berhasil makan mie ayam berdua sama kamu, tadinya saya pikir ... saya mesti mengakui perasaan selama kurang setahun ini sama kamu, tapi saya terlalu payah, Sya. Saya malah pergi duluan sebelum sempat mewujudkan semuanya.
Kertas ini enggak punya mulut, biar begitu saya harap kamu mengerti walaupun tanpa suara.
Bahwa saya sudah sampai pada titik jatuh ke kamu.
Awalnya saya enggak mengenal cinta. Kamu yang mengajarkan saya, Fasya. Dan menjadikan satu-satunya cinta yang saya punya sampai saya memutuskan untuk berhenti menapak di bumi.
Maaf untuk segala sikap pengecut saya. Jangan merasa bersalah, Sya. Saya lebih senang kalau kamu masa bodoh dengan keputusan saya seperti kamu yang biasanya. Menyerah sudah ada dalam rencana awal saya bahkan ketika baru dilahirkan dalam keluarga yang belasan tahun lalu habis terbantai. Dunia ini punya banyak sekali jalan, sayangnya ke manapun saya melangkah, saya akan tetap tersesat.
Bahu saya sudah terlalu berat, hampir patah, tapi dunia enggak boleh tahu, Sya. Biarkan saja, toh reaksinya akan tetap sama, mereka enggak akan menoleh.
Sementara kamu .... Kamu juga enggak boleh tahu. Mana mungkin saya akan menjadikan bahumu sama beratnya dengan bahu saya? Bukan karena saya enggak percaya kalau kamu kuat. Sebab kamu adalah perempuan, semua perempuan itu kuat, 'kan, Sya?
Saya harap kamu mengerti bahwa saya sepenuhnya bercanda waktu bilang cuma kamu yang enggak ramah. Kamu paling ramah karena mau menerima saya, Sya. Kamu paling ramah karena mau menemani saya. Cuma kamu.
William Shakespeare pernah berkata, "men have died from time to time, and worms have eaten them, but not for love." Maka kamu harus percaya, kalau biarpun saya enggak tahu balasannya, saya enggak akan habis-habisnya mencintai kamu.
Menurutmu, memalukan enggak, Sya, kalau saya berharap waktu kamu baca kalimat di atas, kamu juga bakal bilang hal serupa? Hahaha gila, tapi kamu memang menggilakan, karena sejak awal sampai terakhir kali saya melihatmu di lapangan, kamu terus-menerus bertambah cantik.
Terlebih waktu menggiring bola. Terlebih waktu tertawa. Bahkan apa kamu tahu keinginan kuat saya sebelum kertas ini ditutup dan beralih pada benda yang kini telah bertengger di dekat siku?
Saya mau lihat kamu tertawa di sini, saya mau kamu panggil saya, Maheswara.
Bahagialah, Fasya, dan jangan berhenti percaya kalau di sini saya selalu jadi pendukung nomor 1 kamu.
Jakarta, tigabelas detik sebelum saya berhasil meninggalkan bumi.
Maheswara
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya


Komentar
Posting Komentar