- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Asila sangat menyukai suasana menenangkan setiapkali makan siang bersama Panca di hari Minggu. Rasanya seperti terperangkap dalam ruangan penuh aroma petrikor saat hujan pertama di musim kemarau. Sifat lemah lembut cowok itu membuat Asila nyaman lama-lama berada di dekatnya. Asila bahkan sudah menyukai Panca sejak hari pertama mereka bertemu.
Perasaannya berbanding terbalik dengan saat-saat dia bersama Agha; cowok tinggi yang rumahnya bersebelahan dengan Asila. Alasan kenapa Asila tidak suka dengannya, karena Agha sangat menyebalkan. Dia sering melempar mainan tikus pada kamar Asila melalui jendela kamar mereka yang berhadapan saat gadis itu tengah belajar.
Dan sialnya, kali ini Panca mengajak Agha untuk makan bersama di halaman rumahnya.
"Kenapa kau mengajaknya bergabung? Aku tidak suka dia," cicit Asila, melirik Agha dengan bola mata cokelat gelapnya.
Panca tersenyum hangat sambil mengusap punggung tangan Asila, menenangkan. "Agha sepertinya anak baik. Aku akan pastikan dia tidak macam-macam padamu selama kita makan. Lagipula makanan kita terlalu banyak untuk dimakan berdua, bukan?"
"Apa aku harus mengingatkan kalian untuk lebih memelankan suara supaya aku tidak bisa mendengarnya?" celetuk Agha tiba-tiba. Asila dan Panca kontan saling menjauhkan diri. "Aku lapar juga karena Mama pergi bersama orang tuamu Asila. Aku janji tidak akan macam-macam," sambungnya seraya membalas tatapan tajam Asila.
"Janji seseorang seperti ka—" Balasan Asila terpotong oleh suara barang jatuh dari dalam rumah. Ketiganya berpandangan. "Biar aku yang memeriksa. Paling hanya kucing, sebentar," pamit Asila seraya bangkit dan berderap memasuki rumah.
Ia menoleh kanan-kiri. Tidak ada yang aneh di ruang tamu. Asila berjalan menuju ruang menonton TV, namun hanya terdapat secangkir kopi bekas Ayahnya tadi pagi di atas meja, semua masih rapi. Suara tersebut kembali terdengar dari arah dapur. Asila segera berlari ke sana. Tidak ada yang aneh kecuali suara gemuruh dari kulkas. Ragu-ragu, gadis berambut gelombang itu mendekat.
Tiga langkah pertama, suaranya semakin berisik. Asila bergidik, lalu melihat sekitar. Tidak ada siapa-siapa. Panca dan Agha masih di luar. Ia meneguk ludah, tangannya terangkat hendak membuka pintu kulkas. Tapi tiba-tiba Benda itu terbuka dengan sendirinya. Asila menjerit sembari mundur beberapa langkah. Jantungnya berpacu cepat. Ia berniat untuk pergi. Namun langkahnya tertahan. Seolah ada yang mengikat kakinya sampai sulit digerakkan. Asila berteriak memanggil Panca, sayangnya tidak ada sahutan. Keringat bercucuran, tubuhnya gemetar ketakutan. Berikutnya, dari dalam kulkas terpancar cahaya terang yang membuat Asila harus memejamkan matanya rapat-rapat. Dapat ia rasakan telapak kakinya yang bertelanjang terangkat dari permukaan lantai. Tubuh Asila seakan kehilangan gravitasi sehingga melayang di udara. Matanya terbuka, cahaya menyilaukan itu masih ada. Perlahan, tubuh Asila terseret kuat masuk ke dalam kulkas beriringan dengan jeritan panjangnya. Asila hampir kehilangan suara ketika gelap datang, merenggut semua pandangannya.
**
Pening menyerang. Asila mengerang sebab tubuhnya terasa hampir remuk. Kelopak matanya yang lengket bergetar sebelum berhasil terbuka. Yang pertama dilihat Asila adalah langit-langit berwarna ice blue. Dingin menusuk kulit. Sayup-sayup seruan terdengar dari orang yang ternyata ada di sampingnya sejak tadi.
"Raja! Putri Asila sudah bangun!"
Kening Asila berkerut. Apa katanya? Raja? Putri Asila? Ia menggeleng sambil mengedarkan pandangan pada ruangan besar yang didominasi barang berwarna ice blue itu. Ini di mana? Pandangan Asila kemudian terjatuh pada pakaiannya. Ia memekik. Sejak kapan Asila memakai gaun indah begini? Bukannya sebelum Asila pingsan ia hanya mengenakan kaus dan celana jins?
Kebingungannya bertambah ketika dua orang yang amat dikenalinya masuk. Mereka Kusagra dan Rajeshri—orang tua Asila—menghampirinya dengan raut wajah khawatir. Yang membuat Asila heran karena keduanya memakai pakaian seperti ... Raja dan Ratu?
Rajeshri membelai rambut halus Asila. "Syukurlah kau sudah bangun, Sila. Karena racun sialan dari Deodo, kau tertidur lama sekali. Aku merindukanmu."
Asila mengernyit. "Deodo? Ayah Panca?" tanyanya dengan suara serak.
Rajeshri mengangguk. Membantu Asila untuk duduk bersandar. "Ya. Raja Deodo yang sudah menyuruh penyusup itu menaruh racun dalam minumanmu."
Penyusup apa? Asila ternganga bingung. "Kenapa?"
Rajeshri dan Kusagra berpandangan dengan ekspresi terkejut. Kusagra berdeham. "Tidak apa-apa. Sepertinya kau harus segera membersihkan diri agar lekas pergi dari sini."
"Pergi dari sini? Ada apa?"
"Apa kau lupa, Asila? Deodo akan terus mencelakakanmu atas patah hati yang dia terima karena kita menolak Pangeran Pancaka menjadi suamimu."
Asila terlonjak. 'Pangeran' Panca? Suami? Apa ini sebenarnya? Alih-alih menemukan jawaban, kepala Asila justru makin pening. Ia merintih, membuat Kusagra segera memerintah orang agar membawakan minum.
Segalanya makin membingungkan. Asila disuruh memakai gaun berwarna biru muda yang mirip gaun Cinderella, juga sepatu kaca biru. Lewat cermin, Asila dapat melihat rambut hitam gelombangnya digelung rapi dengan wajah berseri. Entah kenapa kini kulit Asila lebih bersinar.
Omong-omong, pelayannya tadi berkata bahwa Asila tengah berada di istana Kerajaan Kusagra. Salah satu kerajaan besar dari bangsa es. Mendengarnya membuat Asila hampir pingsan lagi. Ini sangat mengejutkan sekaligus menyeramkan. Lagipula bagaimana ia bisa ada di sini? Apa kulkas itu adalah pintu keluar masuk dunia lain? Tapi orang-orang di sini sama sekali tidak asing baginya.
Di depan pintu kamar terdapat seorang laki-laki bertubuh tegap membelakanginya. Berpakaian khas pangeran yang warnanya senada dengan gaun Asila. Rambut seputih saljunya sedikit berantakan karena angin. Dan ketika laki-laki itu berbalik, Asila menjerit nyaring dibuatnya.
"Agha?!"
"Tidak sopan sekali kau. Panggil aku Pangeran Agha!"
"Pangeran?!"
Agha memalingkan wajah pada pelayan di samping Asila. "Ada apa dengan Putri Asila? Apa racun Raja Deodo membuat dia menjadi gemar teriak-teriak?"
"Maaf Pangeran. Saya tidak tahu."
Agha mendengkus. Memberikan lengan kirinya pada Asila, tetapi gadis itu masih terbengong. Pelayan memberi tahu Asila agar menggandeng lengan Agha tersebut, membuatnya mendelik. Apa-apaan?! Karena Agha sudah memandangnya setajam pedang, Asila akhirnya menurut bergandengan dengan Agha.
"Apa yang terjadi sebenarnya?" Asila bergumam saat menuruni tangga berjumlah seratus lebih anak yang dilapisi karpet merah menuju lantai satu. Banyak pelayan istana berkeliaran. Kusagra serta Rajeshri menunggu di bawah dengan senyuman hangat.
"Kita dalam bahaya dan harus segera pergi dari sini." Agha menjawab tanpa menoleh.
"Bahaya apa?"
"Raja Deodo akan menyerang bangsa kita."
"Bangsa kita?"
"Apa kau hilang ingatan?" balas Agha. Ekspresinya kebingungan. Dia mendesah. "Ya, bangsa kita, bangsa es. Kita akan diserang Raja Deodo dari bangsa api. Kalau kau memang lupa semua, akan kujelaskan nanti di kereta."
Kusagra menyambut. Menepuk pundak Agha akrab. Berpesan bahwa mereka harus berhati-hati. Rajeshri juga memeluk Asila erat. Kemudian, keduanya digiring keluar istana. Semua nampak sedih. Hanya Asila yang memasang ekspresi kebingungan, tetapi ketika sampai di luar istana, gadis itu dibuat terpukau dengan panoramanya. Sebagian besar berwarna ice blue. Bahkan ujung atap istana yang lancip berbentuk kepingan salju. Asila seperti berada dalam sebuah film Disney.
Di halaman istana terdapat kereta kencana putih dengan dua ekor unicorn. Asila dan Agha duduk bersampingan. Lalu perlahan, kereta melayang dengan sendirinya. Semakin tinggi, Asila dibuat ternganga-nganga, sementara Agha melambai santai pada Kusagra dan orang istana lain di bawah.
Kereta kencana ini sudah terbang di langit cerah selayak burung-burung di sekitarnya. Mata cokelat Asila berbinar melihat atap-atap rumah berjejer rapi. Anak rambutnya terbawa angin dengan bebas. Ia melirik Agha yang tengah memandangi sekitar. Rambut seputih saljunya makin berantakan. Ah, kulit Agha juga berwarna putih mengkilat, hanya saja di bagian bibir dan pipinya terdapat rona kemerahan. Rahang Agha terlihat tegas dari samping. Tampan sekali, mirip animasi hidup.
Tahu-tahu, dia menoleh pada Asila hingga gadis itu gelagapan. "Apa?" tanyanya dingin. Sedingin musim salju. Pantas saja, dia itu bangsa es bukan? Sama seperti Asila.
Karena sudah ketahuan memperhatikan. Asila memutuskan untuk bertanya agar tidak terlalu malu, "Kenapa cuma kita yang pergi dari istana? Memang kita mau pergi ke mana?"
"Karena Raja Deodo hanya akan mencelakakan kita. Biar aku jelaskan, Raja Daedo sangat marah karena Pangeran Pancaka ditolak Raja Kusagra menjadi suamimu, kemudian Raja malah menjodohkanmu denganku," jelas Agha seraya menatap Asila serius. "Maka dari itu, kita harus pergi ke tempat yang jauh dari daerah bangsa es maupun bangsa api. Tunggu, jika kau lupa di mana daerah bangsa api, tempatnya jauh sekali dari sini. Sebab jika berdekatan, bisa-bisa perang setiap hari."
"Kenapa Ayah menolak Pangeran Pancaka?"
Pertanyaan Asila membuat Agha terlonjak kecil di tempatnya. Pemuda itu mengernyit heran. "Kenapa kau bertanya begitu? Tentu saja karena Raja Kusagra tidak mau kau pergi. Dengarkan aku, bersama Pangeran Pancaka dari bangsa api berarti kau memilih mati."
Puitis sekali, pikir Asila. Ia sedikit marah. Rasanya ingin kembali ke dunia asli di mana semua terlihat normal, agar Asila dan Panca bisa terus bersama-sama, tapi bagaimana caranya? Apa ada pintu khusus untuk kembali seperti dalam film? Kepala Asila lagi-lagi diserang pening, akhirnya ia hanya mengangguk-angguk. "Hm ... tapi, apa kau mencintaiku?"
Lagi-lagi Agha terlonjak. Memandang Asila lama. Lantas menjawab, "Memangnya kalau tidak cinta, kenapa aku harus di sini?"
"Karena kau tidak mau celaka mungkin?"
Tawa Agha terdengar dibawa angin. "Karena kau lebih penting dari diriku sendiri. Kau tidak boleh terluka sedikitpun."
"Lalu kenapa kita berangkat selepas aku baru sadar dari keracunan? Jika aku pingsan di tengah jalan bagaimana?"
Agha mendekat sebelum berbisik, "Kau pikir aku akan membiarkannya?" Lalu terkekeh. Asila mendengkus jengkel. Ternyata laki-laki dengan hidung menjulang ini tetap menyebalkan meski berada di sini.
Tak lama setelah mereka saling diam. Sebuah bola api menyerang tali yang menghubungkan leher unicorn dengan kereta. Tali pun terputus sehingga kereta mereka hilang keseimbangan. Tanpa bisa dicegah lagi, kereta meluncur jatuh. Asila memekik, sedangkan Agha mengumpat. Tubuh keduanya membentur tanah di tengah hutan dengan keras. Asila merintih lirih karena sebagian tubuhnya tertindih kereta, membuat Agha segera bangkit menolong.
Suara tawa menggelegar. Agha kembali mengumpat, ia mendongak diikuti Asila. Sosok yang amat dikenalinya muncul; Pancaka. Dia terbang seraya menembakkan bola api pada kereta kencana mereka yang sontak terbakar habis. Asila justru tidak bisa menahan senyum bahagianya. Dia ingin mendekati Panca untuk menghapus rindu, tapi Agha langsung menahan.
"Jangan mendekat. Dia punya kekuatan yang bisa membahayakanmu. Tetap berada di belakangku. Setidaknya walaupun aku tidak punya kekuatan, aku sudah pandai bertarung,'' ujar Agha. Menatap mata Asila tajam karena gadis itu berusaha memberontak.
"Hey Pangeran Agha yang konon katanya baik hati." Panca tertawa mengejek. Membuat Asila tersentak, kenapa Panca terlihat berbeda di sini? "Baik hati apa? Satu kata yang cocok untukmu hanya satu; lemah. Buktinya, kekuatan saja tidak punya." Mata Panca beralih pada Asila yang kontan tersenyum lebar. "Dan kau Putri Asila ... perempuan paling aku benci sekarang. Musnahlah kau!" Bola api dari telapak tangan Panca nyaris mengenai tubuh Asila kalau saja Agha tidak menariknya menghindar. "Sialan," umpat Panca murka.
Agha mengeluarkan pedang, begitupula Panca. Pedang keduanya berbeda. Jika Agha berwarna biru berkilauan, pedang milik Panca berwarna silver dengan kilatan-kilatan api di sekitarnya. Mereka mulai bertarung. Meloncat pada pohon atau berguling di tanah. Bunyi pedang yang beradu mengudara. Panca tentu menggunakan kekuatannya sehingga Agha hampir kewalahan. Beberapa pohon sudah hangus terkena bola api Panca. Asila hanya bisa bersembunyi sembari mengkhawatirkan keadaan Panca. Karena dari awal Asila mencintai laki-laki berambut merah itu, bukan Agha.
Pedang milik Panca terlempar jauh. Belum sempat mengeluarkan bola api, perutnya ditendang oleh Agha. Pekikan Asila terdengar. Panca terjatuh dengan dada diinjak lawannya. Burung berkicauan mengambil alih suasana sunyi. Dada Agha naik-turun. Ia mencengkram pedangnya kuat-kuat. Kemudian, pedangnya bersiap menusuk perut Panca.
Seruan terdengar. Seseorang melesat dan menahan pedang Agha di udara. Kedua pasang mata kompak membelalak menyaksikan kejadian tak terduga tersebut. Angin masih bersemilir tenang. Agha menurunkan pedangnya sembari menjauh dari Panca.
"Jangan bunuh dia!" jerit Asila di hadapan Agha yang sontak tertegun.
Gadis itu berbalik. Air mata mengalir. Rindunya membuncah. Ia hendak menghambur ke pelukan Panca. Kemudian tanpa Asila duga, pedang tajam milik laki-laki itu menancap tubuhnya.
"ASILA!"
Agha berlari merengkuh tubuh lemas Asila. Darah merembes mengubah warna gaunnya menjadi merah. Asila terbaring lemah di pangkuan Agha. Perutnya nyeri bukan main. Perih menjalar. Tubuh Asila gemetar saking sakitnya. Bulu kuduk meremang. Perasaan gadis itu makin nyeri ketika mendengar tawa menggelegar milik Panca.
"Ternyata kau perempuan yang bodoh Putri Asila," ejek Panca seraya tersenyum keji. "Kalau saja ... kalau saja waktu itu Ayahmu tidak menolak dan mencercaku hingga aku dipermalukan seluruh isi istana. Sampai detik ini pun ... aku masih mencintaimu. Aku tidak mungkin membunuhmu kalau saja kita bisa bersama!" Pohon-pohon terbakar hangus ulah bola api penuh amarah Panca.
Asila meneguk ludah getir. "Aku tidak tahu ...," lirihnya seraya membalas tatapan teduh Agha. Mata Asila mengembun, ia merasa bersalah pada laki-laki ini. "Maaf Pangeran Agha, aku mencintai Pangeran Pancaka."
Ketika gadis itu mulai terisak sambil meringis. Agha mendongak pada Panca. Amarahnya mengobar. Agha mengambil pedang, kemudian berderap dan kembali berhadapan dengan Panca yang langsung bersiap mengeluarkan bola api dari telapak tangan. Pedang Agha terangkat. Panca sudah ancang-ancang melempar bola apinya.
Namun hal tak terduga kembali terjadi. Agha menancapkan pedangnya ke tanah sembari berlutut.
Burung-burung berkicau. Langit cerah berubah menjadi gelap disertai petir menyambar. Sehabis tertegun sebentar, Panca terbahak. Kini hutan telah setengahnya hangus. Suara-suara hewan di dalamnya terdengar menyakitkan. Tawa Panca makin keras menyadari bahwa setelah ini, daerah bangsa es akan hancur dan menjadi milik bangsa api.
Dada Agha sesak. Seolah terhimpit sesuatu. Dia berjalan tertatih menghampiri Asila yang hampir terpejam. Agha memeluk tubuh kurus itu. Diusapnya bibir pucat Asila. Hembusan napas berat keluar dari bibir Agha. Mungkin sebentar lagi napasnya akan habis. Bibir Agha bergerak mendekati telinga Asila sebelum gadis itu benar-benar terpejam.
"Jika kau mencintainya sampai akhir hidupmu. Maka biarkan aku juga mencintaimu sampai akhir hidupku."
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya

Komentar
Posting Komentar