- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Hana merapatkan jaketnya di siang terik ini. Ia menunduk. Setengah berlari menyusuri trotoar perumahan tempat tinggalnya. Gadis bertubuh gempal itu mengusap sudut matanya yang basah.
Ia membuka pintu tanpa mengucap salam. Mengabaikan ibunya yang menatap heran. Hana segera masuk kamar. Nyaris menjatuhkan tubuh ke kasur saat Puan—ibunya—membuka pintu kamar.
"Mana kotak bekalmu?" tanya wanita paruh baya itu. "Lain kali jika masuk rumah, salam terlebih dahulu, kau ingat apa yang aku ajarkan, tidak?" omelnya. Setelah Hana memberikan benda yang diminta, dia berlalu.
Napas Hana terembus berat. Perlahan ia membuka jaket. Memperlihatkan seragam sekolahnya yang terkotori cairan sirop berwarna merah.
Hana mendongak, terpaku pada cermin yang menunjukkan refleksi seorang bertubuh gempal, di bungkus seragam berukuran XXL dengan rambut cokelat yang dikepang dua. Wajah Hana lebar. Mata dan hidungnya hilang termakan pipi. Hana seperti tidak punya leher. Jari-jarinya juga tidak lentik seperti gadis-gadis tadi. Pantas saja mereka kelihatan sangat membenci Hana. Mungkin dengan hanya melihat Hana, mereka bisa kehilangan nafsu makan.
Gadis itu mulai menangis tanpa suara. Sementara Puan berteriak kencang dari luar, "Kenapa kau tidak memakan bekalnya?! Apa kau tidak tahu seberapa lelah aku memasak untukmu?!"
Wanita yang sudah dikuasai emosi itu memasuki kamar anaknya dengan dada berapi-api. Tak memedulikan wajah Hana, berulang kali Puan melayangkan pukulannya. "Dasar anak tidak tahu diri! Tidak tahu terima kasih!"
Hana sungguh belum memahami orang-orang. Bagaimana bisa ia dihukum hanya karena tidak dapat menuruti apa mau mereka?
Gadis itu mencoba menenangkan pikirannya dengan melukis. Namun sampai kanvasnya penuh cat dan langit kian gelap pun, tawa mengejek beberapa gadis cantik di sekolahnya tak kunjung lenyap.
'Dasar gendut!'
'Ya ampun lihat wajahnya setelah kau menyiramnya, jelek sekali, hieks.'
'Sebenarnya bagaimana bisa sekolah elite ini menerima murid sepertimu?'
'Apa kau menggunakan orang dalam?'
'Menjijikkan.'
Itu adalah perkataan mereka di kepala Hana, yang membuatnya hampir salah mencampur warna. Hana bernapas lega. Sayangnya, pintu yang dibuka tiba-tiba membuat gadis itu terkejut dan menumpahkan catnya mengotori lantai.
Hana menoleh pada Liana, sang kakak yang kini menyengir tanpa dosa, "Ibu memanggilmu untuk makan malam."
Berhubung perutnya sudah berbunyi sejak tadi. Hana hendak segera bangkit, tetapi setelah mengingat kejadian di sekolah. Gadis itu terdiam begitu saja. Hana mengusap perutnya yang keroncongan. Tahan, tahan. Hana menggeleng kepada Liana. "Aku tidak lapar," dustanya.
"Apa kau bilang?" Puan muncul dari balik pintu bersama wajah galaknya, membuat Hana langsung beranjak menuju ruang makan. Ia masih ketakutan.
Tidak seperti biasa, Hana menyisakan makanannya malam ini. Menimbulkan ekspresi heran dari Puan. ''Hei apa-apaan kau ini? Habiskan!"
Hana menunduk. "Aku tidak nafsu makan." Terpaksa ia harus berbohong lagi. Sebab, jika Hana jujur mengatakan sedang diet, yang ada Puan hanya akan menjawab, "Apa-apaan itu? Diet? Tidak perlu. Ibu 'kan sudah bilang, rajinlah berolahraga. Lihat Liana, Kakakmu itu punya badan bagus karena rajin olahraga. Jangan bermalas-malasan di kasur terus!"
Sebagai ganti kalimat itu, kali ini, Puan sampai membanting sendoknya ke piring. Mengejutkan Hana dan Liana. Hana makin menunduk melihat wajah merah padam ibunya. "Sejak kapan kau diajarkan untuk bersikap tidak tahu terima kasih seperti ini, Hana?!" bentak Puan. "Kau tidak kasihan padaku yang sudah memasak banyak malam ini?! Bahkan kau tidak membantu! Tidak tahu diri! Dasar anak yang tidak tahu caranya menghargai orang tua!" Puan berdiri, lalu kembali melampiaskan amarahnya lewat telapak tangan yang menyebabkan tubuh Hana biru-biru.
Karena itu, esok hari ketika Puan membekalinya tiga lembar roti selai. Hana hanya memakan satu lembar. Sisanya ia berikan pada teman sebangku. Setidaknya Hana sudah menghargai Puan, meskipun sedikit.
Melihat beberapa gadis cantik yang kemarin mengejeknya tengah berjalan mendekat. Hana berniat segera pulang. Naasnya, salah satu dari mereka—entah kini Hana harus menambahkan kata 'cantik' atau tidak pada gadis berperilaku seperti ini—menarik rambutnya hingga terseret dan terjatuh.
Tawa penuh nada ejekan itu menggema di koridor. Pintar sekali mereka mencari waktu di saat-saat pulang sekolah macam ini. Di mana kehadiran para guru sudah berkurang. "Lihat dia, lemah sekali! Apa gunanya tubuh besar jika begitu saja kau terjatuh?!" ejek Jessica. Gadis berkulit putih itu menggeleng-geleng miris. Sedangkan teman-temannya merebut paksa ransel Hana dan membawanya, entah akan melakukan apa.
Jessica meneguk air mineral dari botol. Membuat Hana mendongak takut. Tak disangka-sangka, Jessica menyemburnya. Hana memekik histeris. Ia refleks mendorong Jessica hingga terjatuh. Kedua pasang mata itu membelalak. Sama-sama tak percaya.
Hana menelan ludah dan berdiri susah payah. Gadis berkuncir kuda itu merampas paksa kembali ranselnya, lantas berlari kabur sekencang mungkin. Hampir saja Hana mati dikeroyok antek-antek Jessica, beruntung ia cepat-cepat naik bus yang akan berjalan.
Peluh membasahi seragam Hana. Gadis itu pulang dengan badan pegal-pegal. Ia cukup menjawab pertanyaan Puan soal bekal, tanpa menghiraukan pertanyaan mengenai kondisinya.
Senang karena kotak bekal Hana kosong, Puan langsung tersenyum manis. Wanita itu juga membantu membawakan ransel Hana. Bahkan mengambilkan putrinya minum.
Sampai di kamar, Hana ikut tersenyum. Meski dalam sedetik karena kepalanya mendadak perih. Ia mendekatkan diri pada cermin. Meraba-raba. Hana menghela napas berat setelah menemukan bagian kecil yang botak di kepalanya. Hana bermaksud menyisir rambutnya yang kusut karena ulah Jessica. Namun tiba-tiba Puan memasuki kamarnya.
Senyuman manis barusan telah sirna entah ke mana. Tergantikan oleh raut—lagi-lagi—murka. Hana jadi sangat ketakutan melihat mata memerah ibunya.
Seolah menolak dugaan Hana, alih-alih memukul seperti kemarin, Puan malah menunjukkan ranselnya yang terbuka lebar. Menampakkan begitu banyak kertas-kertas berisi berbagai makian. Hana membelalak. Ini pasti ulah teman-teman Jessica.
"Apa maksud semua ini?!" gertak Puan. Urat-urat di wajahnya bermunculan. Dadanya naik turun. Puan melempar ransel Hana ke sembarang arah. "Sejak kapan kau di-bully seperti ini?! Kenapa kau tidak bilang padaku?! Kenapa kau tak bercerita padaku perihal ini?!"
"I-ibu ...."
Puan menyibak rambut. Ia tertegun sejenak. Kemudian mendongak pada Hana yang terdiam dengan wajah pias. "Jadi ... alasan sebenarnya kau tidak banyak makan karena ini .... Hana, kenapa kau tidak jujur padaku? Kenapa kau diam saja saat aku marah dan memukulmu?! Kenapa kau tidak mengadu pada Ibumu?!"
Melihat kemarahan Puan kali ini, bukannya membuat Hana takut, malah memberikannya kemampuan untuk menghambur ke pelukan Puan. Air mata Hana berderai. Meluruhkan semua beban beratnya yang menumpuk sejak lama.
"Katakan siapa yang melakukan itu! Besok tunjukkan padaku di sekolah. Akan kulaporkan mereka, agar jera. Sampai tidak ada lagi yang berani mengusik hidup Hana-ku."
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya

Komentar
Posting Komentar