Part of Serena's Life; chapter 2

 


"Kau naik bus atau membawa kendaraan?"


Daripada menghiraukan Lio, Eren justru memilih menjawab pertanyaan Hugo, "Naik bus."


"Baiklah. Ayo, sebentar lagi pertunjukannya akan dimulai," ajak Hugo. Senyuman hangat terpatri di bibirnya.


Eren balas tersenyum, lalu mengekori langkah Hugo menuju halte. Tanpa sedikitpun mengindahkan peringatan Lio.


Marah bercampur cemas membuat Lio tak sengaja menyentuh lengan Eren, menariknya.


Seperti seharusnya, Eren terlonjak. Ia berpandangan dengan Lio yang sama terkejutnya.


Namun belum sempat Lio membuka mulut, Hugo berteriak memanggil. Beberapa detik memandang Lio, berikutnya Eren berbalik menghampiri Hugo. Meninggalkan Lio yang mulai kehabisan energi.


"Kau sudah makan?" tanya Hugo di dalam bus.


Eren menggeleng. Saat menoleh ke belakang, ia tak menemukan Lio sama sekali.


"Lapar?"


Hanya gelengan yang Eren berikan. Gadis berambut sehitam arang itu sibuk merenung. Apa yang terjadi dengan Lio?


"Bagaimana jika kita mampir ke kafe dulu? Aku lapar."


"Aku akan mengikutimu ke mana saja. Jadi, terserahlah."


Hugo terkekeh. "Baiklah," jawabnya sembari beranjak.


Lelaki berwajah cerah itu menggiring Eren memasuki bangunan yang didominasi kaca bening. Bercat cokelat dengan pencahayaan remang-remang. Kursi dan meja jati berwarna hitam tersusun rapi. Alunan musik klasik memenuhi seisi ruangan. Ditambah aroma kopi yang menenangkan.


Eren sibuk memotret sana-sini. Tidak ada sepatah kata pun keluar dari bibirnya, sebab mata berbinar gadis itu sudah cukup mejelaskan betapa terpesonanya dia sekarang.


Lensa kamera Eren tak sengaja menangkap gerombolan remaja seusianya yang tengah menatap dengan berbagai ekspresi dari sudut kafe. Eren mengernyit. Menurunkan kamera. Ia memerhatikan penampilannya sekilas, mencari apa yang salah.


Kebingungannya belum juga terjawab sampai Hugo pamit ke kamar mandi. Dua detik Eren ditinggal, gerombolan gadis tadi berbondong-bodong mendekatinya. Membuat Eren menegak waspada.


"Lebih baik kau pulang sekarang," ujar salah satu dari mereka, tanpa basa-basi.


Masing-masing dari mereka mulai berbicara perihal ... entahlah. Kepala Eren pusing. Yang jelas, kata membunuh; Hugo; psikopat; mati; gila; dan penjara terus-terusan bersinggungan.


Meski begitu, Eren tetap mendengarkan para gadis itu bercerita bahwa orang-orang terdekat mereka telah mati terbunuh, dan pelakunya adalah Adrian Hugo Perana, orang yang kini tengah duduk berhadapan dengannya.


Mata bening Eren bertemu dengan iris cokelat Deana—salah satu gadis yang menghampirinya tadi—di belakang punggung Hugo.


"Ini bukan omong kosong, apa yang kami ceritakan itu benar. Kau harus segera kabur. Aku ... takut dia akan mencelakakanmu. Seperti apa yang sudah dia lakukan pada Ayahku."


"Selama ini Hugo hidup dengan tenang. Dia sangat pandai menghilangkan jejak. Beberapa di antara kami pernah melihat sendiri ketika Hugo menghilangkan nyawa seseorang. Namun Sekeras apapun suara kami agar kepolisian menghukumnya, kami tetap tidak dihiraukan karena tidak punya bukti akurat."


Sepasang mata Deana berkaca-kaca. Dia menggeleng sebelum keluar kafe sambil menunduk.


Embusan napas Eren menguar perlahan. Diliriknya Hugo yang tengah lahap menyantap makanannya sembari sesekali menanyai Eren. Matanya berbinar-binar setiap kali Eren menjawab. Tawa Hugo renyah. Raut wajah Hugo saat memandang Eren penuh perhatian. Dan terakhir, Hugo bersikap sebagaimana mestinya laki-laki pada perempuan.


Apa mungkin orang sebaik Hugo membunuh banyak orang?


Dari kafe, Hugo mengajak Eren berjalan menyusuri trotoar. Serentetan cerita mengalir deras dari bibir Hugo, menghapus pikiran-pikiran buruk Eren tentang ucapan Deana.


Keduanya memasuki gang sempit berbau tak sedap. Eren bergidik karena suasananya begitu sunyi. Bahkan suara lalat hijau yang mengerubungi bangkai  tikus saja bisa mengusik telinga Eren.


Akhirnya mereka tiba di rumah sempit bercat kelabu. Berjarak jauh dari rumah-rumah lain. Jendela dan pintunya menggunakan kaca hitam pekat. Hanya ada satu kamar, meja dapur persegi panjang yang menyatu dengan tempat menonton TV, kamar mandi, serta ruang tamu. Namun cukup rapi dan bersih untuk ukuran tempat tinggal laki-laki.


Eren memotret bunga mawar di atas meja kecil yang merapat pada dinding pemisah antara ruang tamu dan ruang TV. Kemudian masuk lebih dalam. Entah kenapa, Eren merasa nyaman berada di sana. Ia duduk di sofa sembari memerhatikan seisi rumah. Sementara itu, Hugo pamit untuk berganti baju.


Setelah beberapa menit Hugo tak kunjung keluar kamar, Eren berkeliling. Memerhatian setiap inci bangunan ini. Menyentuh benda-benda asing yang belum pernah ia lihat sebelumnya.


Eren berhenti di depan lemari pendingin. Matanya terfokus pada stiker yang tertempel di sana. Mendadak, deru napas seseorang menerpa tengkuknya. Bulu kuduk Eren sontak meremang. Ia membeku. Lantas membalikkan badannya, guna mendapati Hugo yang tersenyum lebar dengan kedua tangan di belakang.


"Kau mengejutkanku." Eren menarik mundur wajahnya.


Hugo tertawa, meski sejujurnya, tidak ada yang lucu sama sekali. "Mengejutkan, ya?" tanya Hugo sembari menyeringai. "Lalu bagaimana dengan ini."


Sebuah pisau nyaris menancap pada bola mata Eren kalau saja gadis itu tidak refleks mendorong dada Hugo. "A-apa yang kau lakukan?!" Jantungnya meronta-ronta. Eren membelalak saat raut Hugo berubah gelap.


Eren berniat kabur. Namun lelaki itu lebih dulu menjambak rambutnya. Eren diseret memasuki kamar.


Untuk pertama kalinya Eren merasa sangat ketakutan. Nama Anjani dan Lio terus-menerus tercetus dari bibir ranumnya.


Sebelah tangan Eren menggapai kusen pintu. Menahan agar tak terseret masuk. Kemudian menyambar miniatur dari meja terdekat. Eren menghantamkan sikunya pada dada Hugo, lalu memukul kepalanya menggunakan miniatur, membuat lelaki itu otomatis melepasnya.


Belum sempat melarikan diri, Eren tersandung. Ia menoleh ke arah Hugo yang mendekat seraya menyeringai. Kemudian, pekikan panjangnya keluar seiring pisau tajam lelaki itu menembus kulit telapak kakinya.


Tawa Hugo menggema. Dia mencabut pisaunya yang berlumuran darah Eren, menancapkannya sekali sebelum mencabutnya dengan wajah gembira. Tak puas sampai sana, Hugo melayangkan pisau menuju pinggang gadis bergaun putih itu yang sekarang sudah meringkuk kesakitan.


Beberapa senti lagi hingga pisau Hugo menikam pinggang Eren. Pisau itu terlempar jauh. Secara tak terduga, sosok Andra melesat ke hadapan Eren. Langsung menghajar Hugo yang saat itu tengah lengah sampai akhirnya dia berhasil memapah Eren pergi.


**


"SUDAH  KUBILANG DI LUAR ITU BAHAYA!"


Malam itu rumah terasa amat mencekam. Sesuai dugaan Eren, Anjani marah besar. Selepas lukanya diobati. Wanita itu lantas mengamuk. Melempar benda apa pun di dekatnya hingga berserakan tak karuan.


"Kau selalu menganggap aku tidak masuk akal, tidak berperasaan, dan tidak-tidak lainnya di mana aku seakan jadi ibu paling buruk di dunia .... Tanpa tahu bagaimana cemasnya aku setiap malam memikirkanmu, memohon agar masa depanmu tidak akan sehancur diriku di masa lalu. Kau tidak tahu Eren, betapa aku menyayangimu di balik traumaku selama ini."


Eren hanya termangu di meja makan dengan hidangan yang sudah diubrak-abrik Anjani. Tidak ada satupun kata yang keluar dari bibir pucatnya. Tidak ada kata maaf atau air mata penyesalan.


Hal itu membuat Anjani kian murka. Hatinya semakin terluka. Ia menjerit frustrasi. Menyambar gelas yang tersisa di meja dan menghantamkannya ke lantai hingga pecah berkeping-keping. Tidak puas sampai situ, dengan amarah yang menguasai, Anjani mengangkat kursi, bersiap melemparnya pada sang putri.


Eren tersentak. Sontak ia menunduk sembari mengangkat kedua tangannya di depan kepala.


Prang!


Kedua mata bening Eren melebar. Setelah merasa angin kencang berkelebat selama dua detik yang lalu, ia menoleh ke kiri, melihat jendela besar rumahnya sudah hancur dengan kursi makan tergeletak di antara serpihan-serpihan kaca.


Eren berpaling pada Anjani yang mematung di tempatnya dengan ekspresi terkejut maksimal. Matanya memelotot menyorot kedua tangan dan jendela bergantian. Wajah Anjani memucat. Ekspresinya tak jauh berbeda dengan para pelayan yang berjejer di pintu dapur.


Intuisi membawa Eren menoleh pada anak tangga. Di sanalah keberadaan sosok Lio, yang perlahan-lahan memudar. Kemudian hilang.


Komentar