Part of Serena's Life; last chapter

 


Jari-jari Eren beradu satu sama lain. Ia menatap cermin di depan, lalu menghela napas berat. Hal yang dilakukannya selama duapuluh detik terakhir setelah Anjani memeluk dan meminta maaf padanya.


Refleksi Lily muncul di cermin secara tiba-tiba. Hantu cantik yang telah menemani Eren selama lima tahun itu melipat tangan di dada dengan ekspresi menyeramkan. Lily marah pada Eren.


"Kau sudah melakukan hal bodoh, Eren!"


"Aku tahu."


"Aku berada di pihak Mama Anjani sekarang," ujar Lily.


Eren kembali membuang udara dari bibirnya. Padahal sebelumnya, Eren tidak pernah segelisah ini. "Di mana Lio?"


"Besok baru dia kembali. Energinya habis."


Akan tetapi, besok sampai hari-hari berikutnya pun Lio tak kunjung menunjukkan diri.


Semasa itu pula keresahan bertinggal dalam diri Eren. Meskipun Anjani sudah mengizinkannya keluar rumah sesekali—hanya di sekitar saja—Eren tetap merasa ada yang kurang.


Eren menggerak-gerakkan sebelah kakinya yang masih terbalut perban. Ia tersenyum kecil ketika semilir angin menerbangkan anak-anak rambutnya. Apalagi melihat beberapa bunga di pekarangan beterbangan. Kali ini, Eren merasa sudah cukup bebas, andai saja ada Lio di sin—


"Wah siapa yang telah mengajarimu tersenyum begitu?"


Sontak saja, Eren terlonjak. Secepat kilat mengalihkan perhatian ke arah pilar kokoh di teras rumahnya itu. Ia nyaris melompat girang sewaktu mendapati Lio tengah bersandar sembari melipat kedua tangan di dada.


"Kau ke mana saja?" tanya Eren, kelewat girang. Wajah yang biasanya tanpa ekspresi itu kini berseri-seri.


"Ke mana pun aku, kau tidak akan tahu."


Eren hendak membalas, tetapi diurungkan karena Andra datang mengantarkan secangkir teh hijau.


Andra membungkuk dan tersenyum kaku. "Bagaimana keadaan kakimu, Nona?"


"Cukup baik, sudah tidak membengkak lagi," jawab Eren. Mendadak, benaknya teringat pristiwa lalu. Ia menegak. Menoleh pada Andra yang memasang ekspresi gugup. "Omong-omong, kau ... bagaimana bisa kau datang hari itu?"


Sejenak, Andra tampak gelagapan. "Aku melihatmu masuk dapur dan menabur obat tidur itu. Jadi kupikir akan lebih baik aku tidak ikut sarapan. Dan saat kau keluar rumah, aku mengikutimu diam-diam," jelas pria berkumis tebal itu. Kemudian menunduk setelah melihat kedua mata Eren melebar. "Maaf, Nona. Sudah lama aku bekerja di rumah ini, tentu aku merasa khawatir sesuatu yang buruk terjadi padamu."


"Dan kau benar," timpal Lio santai.


Eren memalingkan wajahnya. "Tidak apa-apa," tanggapnya singkat. Kata terima kasih sudah berada di ujung lidah. Namun gengsi menenggelamkannya kembali.


"Dan maafkan aku karena datang terlambat. Kalau saja aku tidak memvideokan perbuatan lelaki itu dahulu sebelum menyelamat—"


"Tunggu," tahan Eren. Kelopak matanya terbuka lebar. Ia bangkit dari duduknya susah payah, bersamaan dengan Lio yang juga menegak. "Apa katamu? Memvideokan?" ulangnya, mencoba memastikan.


Wajah Andra memucat. Entah kenapa merasa takut. "Y-ya, aku memvideokannya bahkan saat aku menghampirimu, aku meletakkan ponselku di sebuah pot bunga mawar," tuturnya, "Karena itu, aku berhenti sejenak di dekat pot agar bisa mengambilnya saat kita hendak kabur."


Eren menutup mulut tak percaya. Berpandangan dengan Lio. "Apa videonya masih ada?"


"T-tentu."


Setelah beberapa detik berlalu, seringai kecil terbit di bibir ranum Eren. Sekilas ia memandang Lio dengan yakin. "Bagus. Ayo kita pergi," ajaknya. Kemudian berjalan tertatih memasuki rumah.


Andra membantu Eren berjalan sembari mengernyit bingung. "Ke mana?"


"Kantor polisi."


**





Alunan melodi yang dihasilkan oleh jemari-jemari lentik gadis bergaun violet itu bergema di rumah megah miliknya. Rambut panjang yang dikepang satu serta bunga melati di telinga kirinya menambah kesan anggun. Senyum tipis tak kunjung luntur dari bibirnya.


Setelah menyelesaikan permainan pianonya. Eren berbalik. Menatap kedua mata hitam pekat Lio yang sejak tadi menemaninya.


"Kau makin pandai."


Raut sombong kontan menyambangi wajah si gadis.


Membuat Lio langsung merotasikan bola matanya. "Kau pasti makin besar kepala setelah kemarin Deana dan teman-temannya memujimu terus-terusan."


"Ah, tidak juga."


Selepas polisi berhasil menangkap dan memenjarakan Hugo kemarin atas laporannya—dibantu kesaksian Deana dan yang lain selama ini—gadis-gadis yang ternyata teman sekolah Lio itu terus-menerus mengiriminya makanan ataupun pesan melalui email.


Mereka sangat berterima kasih pada Eren karena sekarang bisa bernapas lega, tak terkecuali Lio.


Lelaki itu akhirnya bisa melepas perasaan dendamnya atas kematian sang ibu setelah melihat Hugo meronta-ronta di balik jeruji besi. Dan akhirnya ... waktu di mana ia bisa pergi dari dunianya yang sekarang pun lekas datang.


"Aku harus pergi," ucap Lio pada gadis di hadapannya yang bergeming.


"Pergi saja," tanggap Eren acuh tak acuh. Pandangan Eren terpaku pada jendela besar di ruangan favoritnya ini.


"Jangan mencariku, aku tidak akan datang lagi meski kau mengamuk sekalipun."


Eren langsung menoleh sengit.


Lio memicingkan matanya. "Nanti cobalah untuk mempelajari cara berekspresi selain datar dan marah," usul Lio seenaknya.


Eren mendesis. "Banyak bicara sekali kau." 


Kemudian untuk pertama kalinya, Lio tergelak. Membuat Eren tersentak.


"Hiduplah dengan bebas, Eren," ujar lelaki itu lagi dua detik setelah tawanya pudar. "Bahagialah."


Raut wajah Eren yang semula kaku kini mulai mengendur. Kerlipan matanya meredup menyadari eksistensi Lio semakin kabur.


Senyum tulus terpatri di bibir pucat Lio. Cepat-cepat, Eren membalas tersenyum tipis, seakan takut lelaki itu tidak sempat melihatnya.


"Katakan pada Lily, aku pergi lebih dulu."


"Terima kasih banyak, Eren. Dan sampai jumpa."


"Oh, untuk yang terakhir. Kau harus tahu, kalau aku tidak pernah bercanda."


Lengkung di bibir Eren kian melebar. Tanpa lama-lama ia sudah mengerti maksud perkataan Lio. Eren mengangguk-angguk. Kekehannya mengantarkan Lio yang kini sudah menghilang dari pandangan.


Menyisakan sunyi dan perasaan aneh di dada Eren.


"Sampai jumpa lagi, Lio."

**

End.

Komentar