Hesa

 


"Tumben kamu keluar rumah? Malam-malam begini lagi."


Terus terang, komentar tetangga adalah faktor pertama yang membuat Fasya malas menampakkan eksistensinya pada dunia luar. Selain bikin telinga sakit, juga bisa mengubah suasana hatinya dalam hitungan detik.


Fasya hanya membalas dengan senyum tipis. Ia mengeratkan ikatan rambut, memasukkan kedua tangan ke dalam kantong hoodie, lalu berjalan menuju lapangan komplek yang seringkali diramaikan oleh anak-anak SMP.


Dulu Fasya kerap bermain basket bersama mereka, hampir setiap hari, tapi karena kegiatan bimbel dan ekstrakurikulernya bertambah, ia tidak pernah datang lagi dalam dua minggu. Rasa antusias bercampur rindu membuat langkahnya semakin semangat mendekati area lapangan yang menjadi sumber gaduh komplek Anjasari.


"Oi Sya!" sapa salah satu dari anak-anak yang berkumpul ketika ia datang. Yasa namanya. "Waduh dari mana saja, kok baru muncul?"


"Sibuk nih," Fasya menjawab singkat, tanpa balas tersenyum.


Beberapa orang di sana mengerubunginya sebelum memutuskan untuk bertanding. Permainan mereka berjalan seru. Ternyata ada lima orang baru yang bergabung selama Fasya libur kemarin.


Setelah selesai, Fasya beristirahat di tepi lapangan. Meneguk air mineral yang diberikan Yasa. Mendadak Fasya merasa tengah diperhatikan. Ia menggerakan kepala. Memerangkap tatapan seorang pemuda berambut hitam mullet yang tadi ikut bertanding. Dalam lima detik Fasya mengalihkan wajah dan beranjak.


Namun suara langkah kaki menyusulnya. "Permainan kamu bagus tadi," celetuk seseorang.


Fasya menoleh, mengernyit pada pemuda yang tadi tertangkap basah memerhatikannya.


Pemuda itu tersenyum. "Saya boleh tahu nama kamu?"


"Enggak."


"Kalau gitu, ini botolmu ketinggalan. Isinya masih banyak. Sayang."


Fasya menerima uluran air mineralnya dengan tanpa ekspresi. "Makasih."


"Nama saya Hesa."


Fasya memandang pemuda berkaus putih itu heran. "Aku enggak mau tahu," ketus Fasya seraya berjalan meninggalkannya. Aneh.


**


"Saya udah tahu nama kamu."


"Hah?" Langkah cepat Fasya terhenti. Ia menatap Hesa yang mengikutinya sejak keluar lapangan seperti malam pertama kali mereka bertemu.


"Kamu Fasya 'kan? Namanya lucu." Hesa menahan senyum.


"Kenapa? Enggak cocok sama mukaku?"


"Cocok sekali, Sya."


Fasya melanjutkan jalannya. Masih diikuti pemuda bernama Hesa itu, yang ia sendiri tidak tahu dari mana asalnya.


"Gimana kabar Salsa?" Tiba-tiba Hesa bertanya begitu.


Kontan saja Fasya membelalak. "Kamu tahu Kakakku?" tanyanya terkejut.


"Dia satu fakultas dengan saya."


Oh jadi orang ini sudah kuliah. Wajahnya masih cocok jadi anak SMA seumuran Fasya.


"Kak Salsa baik."


"Kalau ibumu?"


Fasya tercengang. "Apanya?"


"Gimana kabar ibumu?"


"Ya baik." Sekali lagi Fasya membatin, aneh.


Langkah Hesa terhenti. "Mau mie ayam?" tanyanya menunjuk gerobak di dekat pos ronda.


"Enggak."


"Saya mau."


"Ya sudah." Apa masalahnya?


"Sebentar, ya." Selagi Hesa berbicara dengan penjual mie ayam, Fasya segera melarikan diri.


**


Langkah Fasya nyaris berputar arah ketika tak sengaja melihat Hesa muncul dari jalan raya. Namun terlambat, pemuda yang kini memakai kemeja putih itu terlanjur menangkap eksistensi Fasya.


"Setelah kemarin kamu ninggalin saya di tukang mie ayam, sekarang kamu mau kabur lagi? Di mata kamu saya seram, ya, Sya?"


Duh kenapa orang ini jadi terlihat melas begini. "Enggak kok," jawab Fasya segera.


Senyuman mengembang di bibir Hesa begitu cepat. ''Kamu mau ke mana?" tanyanya kembali ceria.


"Supermarket. Kak Salsa mau ramen." Seperti sebelum-sebelumnya, ketika Fasya berjalan maka Hesa akan mengikutinya dari belakang.


"Saya juga suka ramen, Sya."


"Oh begitu, ya."


"Orang-orang di Anjasari ramah-ramah, makanya saya suka kemari. Cuma ada, sih, satu yang enggak ramah."


Entah kenapa Fasya merasa tersindir. "Siapa?" sergahnya.


"Hehe bukan siapa-siapa kok, Sya." Hesa menyengir. "Nanti malam kamu mau basket lagi?"


"Iya."


Karena Hesa terdiam. Fasya berbalik tanpan sadar. "Kamu?" ceplosnya.


"Kamu mau ikut saya?" Hesa malah menanyakan hal lain.


"Enggak," jawab Fasya tanpa lama-lama berpikir.


**


"Kamu mau jadi atlet basket?"


Untuk yang ke sekian kali, Fasya bertemu dengan pemuda jangkung bernama Hesa itu. Entah kebetulan atau apa namanya. Hesa seolah ada di mana-mana. Mereka jadi sering bertemu dan tak jarang terlibat suatu obrolan.


Sejauh ini Fasya tahu kalau Hesa bukan berasal dari komplek Anjasari, Hesa anak Hukum, dia suka ramen, dan anak yang cukup terkenal di angkatan karena kepintaran dan kegantengannya–ini Fasya tahu dari Salsa. Selebihnya Fasya tidak tahu. Meski begitu, Hesa sudah tahu banyak tentangnya. Makanan kesukaan Fasya, kebiasaannya, sekolah, keluarganya, sampai tujuan Fasya selepas lulus SMA.


"Basket cuma hobiku. Lagipula apa cocok perempuan lari-lari di lapangan dan berkeringat begitu? Aku takut dihujat, Hes," ungkap Fasya, menatap kedua mata Hesa yang berdiri bersandar pada tiang pos ronda, sementara Fasya dalam posisi duduk.


"Kamu takut sama sesuatu yang enggak perlu ditakuti."


"Maksudmu?"


"Maksudmu perempuan enggak boleh di lapangan dan laki-laki enggak boleh di dapur, begitu 'kan, Sya?"


"Em ...."


"Semua profesi enggak ada batasannya, Sya, apalagi cuma karena gender."


Fasya tersentak untuk pertama kalinya mendengar kalimat tersebut. "Kamu mendukungku?" tanyanya berbinar.


Hesa mengangguk semangat. "Saya bakal berdiri paling depan setiap kali kamu tanding."


Yang dilakukan oleh gadis bergengsi tinggi itu hanya menahan senyumnya mati-matian.


"Mau ikut saya?" Hesa kembali melayangkan pertanyaan yang sama setiap kali mereka akan berpisah.


Dan jawaban Fasya juga akan selalu sama. "Enggak."


**


Entah bagaimana caranya orang yang sampai sekarang Fasya tahu sebagai Hesa itu maksud ke dalam hari-harinya. Bertemu dan mengobrol dengannya menjadi seperti kebiasaan.


Sampai-sampai ketika pemuda itu tak lagi bisa ia temui. Fasya mencari-cari.


Di lapangan, tukang mie ayam, pos ronda, sampai di ujung komplek pun wujud Hesa tak terlihat sama sekali. Hampir seminggu lamanya.


Mau tak mau Fasya harus mengakui kalau ia, rindu.


**


Di hari ke-tigabelas, akhirnya Hesa kembali terlihat. Tengah menyantap mie ayam dekat rumah salah satu warga.


"Hesa!" Fasya berteriak seakan takut pemuda itu akan hilang sedetik kemudian.


Hesa menoleh. Tersenyum. "Mau mie ayam?" Ia tak pernah lupa menawarkan.


Napas Fasya terengah. "Dari mana saja kamu?" tanya balik gadis berkaus hijau itu.


Anehnya, Hesa tak menjawab, malah melebarkan senyum. Hesa mempersilakan Fasya untuk duduk dulu. Sedangkan pemuda yang kelihatan lebih kurus itu membayar.


"Kamu mau ikut saya?"


"Enggak."


"Kamu enggak pernah tanya ke mana saya mengajak kamu pergi, Sya."


Fasya terdiam. Benar juga. "Ke mana?"


"Ke makam orang tua dan kakak saya."


**


"Fasya, kamu mau ikut saya?"


Hesa tidak pernah bosan menanyakan hal itu kepada Fasya. Mungkin, tidak akan pernah.


"Ke makam orang tua dan kakak kamu?" tebak Fasya seraya mengelap keringat menggunakan handuk yang diberikan Hesa.


Mereka berhadapan di sisi lapangan. Diam-diam Fasya menelan ludah melihat penampilan memesona Hesa yang berkeringat dengan rambut acak-acakan. Karismanya menguar kuat. Mempercepat ritme detak jantung Fasya.


"Bukan."


"Enggak."


"'Enggak' itu kata favoritmu, ya, Sya?"


"Iya."


"Kalau bukan saya yang ngajak, apa kamu mau keluar dari Anjasari?" Raut wajah Hesa begitu serius.


Akan tetapi Fasya menanggapinya dengan bercanda. "Mungkin."


**


Dan ketika hari esok datang, Fasya menyesali perbuatannya. Karena Hesa kembali menghilang. Sampai berminggu-minggu, lebih lama dari kemarin. Barangkali dia marah. Muak terhadap Fasya yang mirip batu. Apa Hesa menyerah? Tapi menyerah untuk apa?


Belum juga semua terjawab, tiba-tiba Yasa datang ke rumahnya dan berkata, "Fasya, ayo ikut denganku."


"Enggak, ah, Yas."


"Ini permintaan dari Kak Hesa. Tolong sekali iniii saja, kamu menurut."


Mendengar nama Hesa, semangat langsung terpantik dalam diri Fasya. "Ya sudah ayo!"


**


"Kenapa bawa aku ke sini, Yas?" Fasya kontan melempar pertanyaannya ketika mereka tiba di suatu tempat.


Pemakaman.


"Ini permintaan Kak Hesa," Yasa menjawab seadanya.


Decakan Fasya keluar. Hesa pasti mau ditemani menjenguk makam orang tua dan kakaknya. Seperti ajakannya tempo hari.


Mereka berjalan menyusuri pemakaman. Melewati satu-persatu tempat terakhir peristirahatan manusia tersebut. Pupil Fasya berkeliaran, mencari-cari sosok berambut hitam dengan mata indah.


Langkah Yasa terhenti, membuat Fasya ikut berhenti. Anehnya, tidak ada Hesa di sana. Ke mana dia? Apa dia telat datang?


Tiba-tiba Yasa berjongkok di sebelah batu nisan yang kelihatan masih baru. Berukirkan satu nama; Maheswara bin Andri. Detik itu juga, firasat buruk menyerang Fasya. Ia terdiam. Jantungnya berdebur nyaring tanpa sebab. Segenap pikiran negatif yang ia coba tepis bermunculan di kepala Fasya.


"Ini makam Kak Hesa, Sya."


Sore itu langit mengabu. Jingga yang menggaris cakrawala runtuh. Fasya terdiam. Tubuhnya seakan tersetrum. Ada benda keras menghantam dadanya. Fasya tidak bisa memastikan apakah jantungnya masih berdetak sekarang. Kemudian ia menggeleng. Melangkah mundur. "Kamu bercanda Yasa ...." Tangan gemetar Fasya menutup mulut. Matanya memanas.


"Fasya–"


"Kamu salah orang!" Teriakan Fasya memotong perkataan Yasa. "Dia pasti bukan Hesa yang aku kenal, Yasa. Bukan. Hesa enggak mungkin–"


"Nama lengkapnya Maheswara, Sya. Dia Hesa-mu. Hesa yang sering mengikuti kamu."


Untuk pertama kali, Fasya mengeluarkan air mata untuk lelaki selain ayahnya sendiri. Ia terduduk di samping nama Hesa. Kedua tangannya menggenggam tanah-tanah yang mengubur tubuh jangkung Hesa dengan kuat. Fasya menunduk dalam. Tangisnya pecah, mengeluarkan semua. Perihal ketidak relaan dan penyesalan.


"Kenapa begini, Hes. Kamu bilang akan jadi supporter pertamaku nanti, kamu belum menepati ucapanmu, Hesa. Kenapa kamu begini."


"Kak Hesa ditemukan sudah enggak bernyawa di kamarnya dua hari lalu. Dia nembak kepalanya sendiri, Sya."


Wajah berlinang air mata Fasya mendongak. "Kenapa enggak ada yang mencegah? Kenapa enggak ada yang menyelamatkannya!"


"Hesa tinggal sendirian."


Satu fakta lagi yang berhasil menyadarkan Fasya kalau selama ini apa yang ia lakukan hanya membuang-buang waktu Hesa. Fasya menyesal sebab tidak pernah bertanya bagaimana hari-hari Hesa, ada masalah apa, bahkan sesederhana nama lengkapnya saja Fasya abaikan. Kenapa Fasya begitu tidak peduli? Seandainya satu kali saja ia memenuhi ajakan dan tawaran-tawaran Hesa, mungkin sesal tidak akan sepekat ini di hatinya.


Barangkali Tuhan memberi hukuman terhadap Fasya karena kebodohannya selama ini.


Tangis Fasya mengeras. "Aku suka Hesa, Yas, aku mau Maheswara."

Komentar