- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Bagian 1
Di sekolahku, di setiap tahun kedua seluruh siswa diwajibkan mengikuti kegiatan kemah yang mana semua kelas dicampur dan dibentuk menjadi beberapa kelompok. Mereka bilang, perempuan tidak boleh lemah dan terfokus pada hal-hal yang feminin, tapi perempuan juga harus tangguh.
Aku sudah mendapat kelompokku yang agak berisik. Namun karena aku datang terlambat, aku tidak mendengar beberapa informasi dengan jelas.
"Kamu catat barang apa saja yang harus dibawa?" bisikku kepada siswi di belakangku yang sedari tadi diam.
Satu alis yang terjungkit itu seolah menunjukkan perasaan tak percaya aku berbicara kepadanya. Semakin jelas ketika maniknya sempat mengedar, mencari kemungkinan aku bicara dengan orang lain. Lantas tangannya menyodorkan secarik kertas. Aku mengucapkan terima kasih, dia kembali menatap podium.
Kami saling diam.
"Berapa hari kemah berlangsung?" Dia bertanya. Suaranya rendah dan dalam, aku sempat terkejut. Matanya menatapku lurus, lekat.
"Tiga, tiga hari."
"Sanksi apa yang didapat kalau nggak ikut?"
"Nggak ada, tapi harus ikut tahun depan."
Dia berdecak pelan, mengalihkan pandang. Kami dibubarkan.
Hari kami mulai berkemah, aku melihatnya tengah berbicara dengan seorang gadis jangkung yang bukan kelompok kami. Memang dilihat-lihat saat semua orang mulai mengakrabkan diri dalam kelompok, dia malah sama sekali belum pernah mengobrol dengan teman sekelompoknya. Mungkin hanya aku, itu pun cukup jarang. Dia akan melipir ke sudut dan bermain ponsel sendirian. Pribadinya sedikit bicara jika di keramaian. Entah kenapa agak berbeda ketimbang saat kami hanya sedang berdua, dia bisa berubah jahil dan banyak tingkah sekalipun.
Pernah suatu kali kami bangun paling akhir. Dia tidur di pojok, sementara aku di tengah tenda. Aku tersenyum menyapa setelah melakukan peregangan.
Dia mengangguk tak acuh, sambil duduk mengusak-ngusak rambut.
"Gimana tidurmu?" tanyaku selagi membereskan alas tidur.
"Bagus. Pegal-pegal, kayak tidur di lapang basket."
Aku tertawa.
Aku lebih sering bersama teman dari kelas lain yang sudah akrab, sementara dia lebih sering bersamaku daripada yang lain. Karena itu aku tau dia pandai bahasa Inggris dan sering mengikuti lomba pidato berbahasa Inggris. Dia anak yang baik. Membagi lotion anti nyamuk kepadaku, mengulurkan tangan ketika permainan panjat tebing, menolong anggota kelompok yang jatuh. Bahkan dia yang menarikku keluar dari kerumunan murid yang berebut camilan dan memberikan miliknya kepadaku. Namun entah kenapa perbuatan mulianya tidak pernah terlihat di mata anak-anak lain. Mungkin karena dia cukup pasif. Dia paling sering tinggal di tenda saat yang lain memainkan permainan atau sekadar berkumpul.
Di hari terakhir sebelum kami pulang. Kami berdua menanam biji bunga matahari di belakang perpustakaan sekolah—yang mana jaraknya tak terlalu jauh dari area perkemahan. Di situ aku mengucapkan terima kasih.
"Bukan cuma untuk Sun," kataku menyebut nama bunga matahari yang sudah kami tanam.
Dia tengah memandangiku, satu alisnya terjungkit. "Lalu?" tanyanya.
"Untuk jadi teman kelompokku."
Dia terdiam. Bibirnya mengatup. Lantas maniknya beralih dariku ke petak tanah yang sudah mengubur biji bunga matahari. "Nggak perlu repot-repot berterima kasih pada semua orang."
"Semua orang?" Aku memiringkan kepala.
"I mean, kelompok kita."
"Oh, nggak. Aku cuma berterima kasih kepadamu—ya, aku merasa berterima kasih pada semuanya—tapi maksudku, ini, yah kamu ngerti?"
Dia menoleh sekilas sambil tersenyum geli. "Ya."
Selanjutnya aku terdiam.
Sedangkan dia termenung dengan kedua kaki menekuk. Kedua tangannya ditaruh di atas tempurung lutut. Jari-jarinya bertaut. Dia memandang lurus pada lumut di tembok perpustakaan. Sinar matahari menyorot sosoknya hingga rambut hitam legam itu bersinar. Berbeda dari kebanyakan anak perempuan, dia punya rahang tajam. Hidungnya menjulang. Dia tinggi. Badannya tegap. Dan dia punya aura maskulin yang membedakannya dari anak gadis lain—maksudku walaupun ada beberapa gadis yang memiliki aura semacam ini, tapi miliknya paling kuat. Paling memikat. Ditambah, dia memangkas rambutnya pendek di atas bahu, model rambut gondrong laki-laki Korea Selatan (dia bilang memang terinspirasi dari sana). Dia lebih suka memakai celana trening daripada rok, bahkan pernah saat malam setelah latihan PBB dia mengenakan kaus oblong beserta celana hitam pendek yang punya banyak kantong. Kalau ada orang asing melihatnya, mereka akan langsung mengira dia murid laki-laki.
"Aku pikir kamu nggak akan ikut kemah waktu dulu di aula," ujarku setelah sekian menit kami dilanda hening.
"Tadinya mau begitu."
"Terus?"
"Nggak jadi."
"Kenapa?"
"Kemah tahun depan nggak ada teman-teman kelasku,
nggak ada kamu juga."
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar