- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Bagian 2
Hari-hari berikutnya kami jadi sering bertemu. Entah di jalan menuju sekolah, di koridor, di lapangan, di toilet atau di antara kami ada yang sengaja mendekat. Kami bertukar banyak cerita. Dia teman yang menyenangkan sekaligus menyebalkan—kadang-kadang—Dan meskipun tinggal di gedung asrama yang berbeda, kami kerap bertemu tanpa sepengetahuan orang-orang di belakang perpustakaan untuk melihat Sun.
Namun semakin hari aku makin disibukkan dengan kegiatan ekstrakurikuler cheerleaders dan bersosialisasi dengan teman baru. Berminggu-minggu aku bisa tak bertemu dengannya. Hanya sesekali di lapangan belakang ketika ekskul baseball kebetulan sedang berjalan.
"Kukira kamu sudah lupa Sun." Dia langsung berkomentar ketika aku sore itu menyempatkan diri ke belakang perpustakaan, masih dengan seragam cheerleaders.
"Maaf ya, aku sibuk sendiri akhir-akhir ini, jadi kamu yang jagain Sun sendiri."
"Gapapa, gapapa." Dia mengambil selang dan mulai menyiram. "Aku senang kamu punya banyak teman."
Aku berdiri di sebelahnya. "Sesekali kamu harus bergabung."
"Aku nggak suka bergaul."
"Oh."
Hening.
"Gadis itu, kamu suka ya?" tanyanya tiba-tiba.
Aku tersentak. "Hah? Siapa?" tanyaku.
"Gadis berambut pirang panjang itu."
"Oh, Cassie?"
Dia berdeham. Berkata dengan nada berbeda, "Akrab sekali kelihatannya."
"Dia cukup baik, mau menerima kehadiranku."
"Ya."
"Gimana menurutmu?"
"Aku nggak kenal."
"Tapi sering lihat 'kan?"
"Ya. Dan nggak baik menilai orang kalau cuma diambil dari penglihatan mata telanjang."
Aku melebarkan mata. "Benar. Kamu pintar, ya," pujiku.
"Tapi nggak cukup kalau pintar saja, harus baik juga 'kan?"
"Untuk?"
"Untuk disukaimu."
"Aku suka kamu, kepribadianmu."
"Kamu nggak mengerti." Dia memandangku asing. Nadanya dingin dari biasanya. Mendadak selang ia letakkan dan tungkainya berjalan menjauhiku.
Aku termangu.
**
Hari besoknya, karena terjerat rasa bersalah dan penasaran aku menunggunya selesai kelas, tapi sialannya dia malah mengabaikanku dengan melewatiku begitu saja yang mematung dengan muka merah di ambang pintu. Hari berikutnya aku sengaja pergi ke lapangan belakang, dia melihatku di sana, tapi selesai latihan malah tiba-tiba hilang dari kerumunan. Hari selanjutnya lagi dengan kekesalan memuncak aku mencarinya ke seluruh penjuru sekolah.
"Aku memang nggak mengerti, jadi kamu seharusnya jelasin, bukannya malah pergi!" Aku berteriak setelah menyibak tirai UKS di mana dia berbaring dengan kaki kiri di atas kaki kanan yang menekuk.
Matanya yang semula terpejam lekas terbuka. "Kamu marah," katanya dengan pandangan yang begitu tajam.
"Kamu!"
Dia bangkit. "Jangan kayak anak kecil."
Aku terdiam dengan napas tersengal dan wajah memerah. Tanganku terkepal. Aku mengalihkan pandang.
"Kamu bukan seperti orang yang aku kenal, yang tenang."
"Aku juga bisa marah."
"Ya."
Dia bangkit. Berniat meninggalkanku kembali.
"Dan aku juga bisa untuk nggak bicara lagi sama kamu kalau kamu masih kayak gini."
Langkahnya terhenti, tapi punggungnya tak berbalik. Ia malah melanjutkan langkah. Sialan! Aku makin marah kepada diriku sendiri. Karena frustrasi, aku menjambak rambut dan menggigiti kuku sambil berpikir harus apa lagi.
Tiba-tiba seseorang menjauhkan tanganku dari rambut, sebuah lengan kokoh melingkari pinggangku dari belakang dan dengan entengnya mengangkat tubuhku ke atas brankar. Dia berdiri di hadapanku. Aku melongo, heran terhadap tenaganya yang setara laki-laki.
Dengan santai dia membuka penutup kaleng minuman dingin yang dibawanya, meneguk rakus di hadapanku, kemudian menyodorkan kaleng kepadaku. "Minumlah," suruhnya, serak, dia mengalihkan pandang untuk terbatuk sejenak.
Tanganku menerima. Dia masih memandangiku dalam jarak yang begitu dekat sampai-sampai aku bisa menghidu wangi parfum mahalnya. Tangan kanannya bertumpu di tepi brankar di samping tubuhku, mengurungku.
"Ya, oke, kamu nggak perlu mengawasi begitu."
"Oh?" Kepalanya tertoleh ke kanan, menatap sembarang.
Aku nyaris tersenyum, lalu mereguk minumnya dari sisi yang sama dari yang tadi dia minum.
Setelah mendengar bunyi 'glek glek' dari tenggorokkanku, dia kembali menatapku dengan wajah datar.
"Kamu tau, kadang beberapa hal sukar dijelaskan," katanya dingin.
Aku menjawabnya dengan diam.
Dia membalikkan tubuh membelakangiku. "Aku kurang nyaman."
Kupikir itu dimaksudkan dengan posisinya barusan. Maka aku beringsut sedikit menjauh.
Namun dia ternyata melanjutkan, "Cara mereka menatapmu."
"Eh?" Aku memiringkan kepala tak mengerti.
"Argh susah!" Dia mengacak-acak rambut.
"Ya, ya, nggak usah dipaksa." Aku takut sekali dia mengamuk.
Maniknya melirikku. "Kamu nggak mengerti."
"Aku harap aku bisa mengerti," ujarku sedih.
"Cukup perhatikan aku sama dengan Cassie."
"Eh?"
Dia sedikit menjauhkan wajah dariku.
"Aku nggak pernah memperhatikan Cassie," kataku.
"Dia menerima kehadiranmu."
"Ya."
"Kamu menerima kehadirannya."
"Betul. Lalu?"
"Aku dari awal juga menerima kehadiranmu."
"Dan?"
Dia terdiam.
Aku menegak. "Tentu saja aku menerima kehadiranmu. Kamu berpikir demikian pula 'kan?"
"No."
"Hei?" Aku menatapnya tak percaya.
"Manusia seperti aku sulit diterima masyarakat."
"Kamu tau aku nggak pernah ada di antaranya." Mataku menyorot tegas kepada punggung lebar itu.
Dia menghela napas dan berpaling sekilas ke arahku. "Coba renungkan saja. Aku mau makan ramen," katanya sambil beranjak.
Aku melongo.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar